[CERPEN] "Merah Putih di Atas Api" Dimuat di Koran Waspada Minggu, 13 Agustus 2017

Koran Waspada Edisi Minggu 13 Agustus 2017 Versi Digital





Merah Putih di Atas Api
Cerpen : Feby Farayola

             

              Dulu merah putih diperlakukan dengan keji. Selang pasca pertumpahan darah yang terjadi merah putih dipuji-piji. Kini, merah putih berada di atas api. Bagaimana nasib merah putihku nanti?
            “Tak usah kau fikirkan huru-hara yang terjadi belakangan di negeri ini. Yang penting kau belajar sungguh-sungguh supaya menjadi orang yang sukses di kemudian hari.” Lelaki berkulit sawo matang itu menepuk-nepuk bahuku sambil tertawa.
            Hujan menjebakku di sebuah warung kopi yang sedang tutup. Bersama Togar, si lelaki berkulit sawo matang tadi, dan beberapa teman sekolahku, kami menunggu hujan pergi sembari berbincang mengenai apa saja. Termasuk hiruk pikuk negeri ini.
            “Kalau bukan kita siapa lagi yang akan perduli? Ingat Togar! Kita ini generasi penerus negeri,” sahut Wati.
            Togar tidak menyahut. Ku lihat ia hanya cengengesan.
            Sebentar lagi negeri ini akan merayakan hari kemerdekaan. Sebab itu, pembicaraan seperti ini menarik untuk diperbincangkan. Apalagi mengingat kondisi negeri yang belakangan ini semakin tak terkendali. Maraknya tindak kriminal dalam berbagai bentuk, perselisihan antar suku dan golongan, penindasan hak rakyat kecil, dan masih banyak lagi. Sebenarnya hal-hal tersebut bukan permasalahan baru. Namun herannya hingga kini permasalahan tersebut tak kunjung usai.
            “Nasib merah putih kini bagai sedang di atas api,” ucapku.
            “Mengapa begitu?” sahut Togar dan Wati secara bersamaan.
            “Berada dalam masalah besar.”
            Aku menggunakan istilah merah putih untuk mengistilahkan negeri ini, Indonesia.
            Ya, sepertinya jika jiwa nasionalisme semakin memudar, keperdulian terhadap negeri semakin mati, merah putih memang akan terbakar habis oleh permasalahan-permasalahan yang ada.
            “Aku setuju itu. Kalau semua orang di negeri ini hanya ingin sukses tanpa memikirkan nasib negerinya, bisa-bisa merah putih tinggal nama,” timpal Suyanti.
            “Hust! Jangan ngomong begitu,” tegurku.
            Ku akui, aku pun ingin menjadi orang yang sukses. Memiliki masa depan yang cerah dan hidup yang berkecukupan di kemudian hari. Mungkin kamu, dia, dan juga mereka berfikir hal yang sama. Namun apa artinya sukses jika tidak berguna bagi negeri? Padahal di sana kita semua dilahirkan, dibesarkan, dididik, dan mengejar mimpi. Apa artinya sukses jika hanya menghancurkan nama baik negeri? Tidak perlu ku jelaskan secara detail apa yang aku maksud dengan tidak berguna bagi negeri dan juga menghancurkan nama baik negeri. Jika kamu mengetahui kasus-kasus memalukan yang terjadi di negeri ini, kamu pasti tahu apa yang aku maksud.
            “Kalau dulu para pahlawan hanya menginginkan merdeka untuk diri mereka sendiri, mungkin sekarang kita tidak akan terlahir dengan kondisi yang seperti ini. Betul tidak, Bambang?” Wati menyenggol lenganku, meminta persetujuan.
            Aku mengangguk sambil menambahkan, “Agak kau ubah dulu pola fikirmu itu Togar,” ucapku sambil tertawa kecil.
            Lagi-lagi Togar hanya cengengesan.
            “Maksudku tadi, belajar sungguh-sungguh supaya menjadi orang yang berguna bagi nusa bangsa, dan agama,” ucap Togar kemudian yang disambut dengan sorakan dari aku, Wati, dan Suyanti.
            Hujan mulai reda. Aku, Togar, Wati, dan Suyanti melanjutkan perjalanan menuju rumah. Kira-kira satu minggu lagi kami akan mengemban tugas sebagai pasukan pengibar bendera pada perayaan hari kemerdekaan nanti. Untuk menampilkan yang terbaik kami harus berlatih dengan keras. Tak perduli cuaca yang hari ini sedang mendung. Meski pada akhirnya hujan membuat latihan hari itu harus berakhir dengan cepat, masih ada beberapa hari lagi untuk mempersiapkan diri. Aku berharap penampilan kami ketika mengibarkan panji merah putih nanti tidak mengecewakan.
            Di perjalanan, aku bertemu anak-anak yang sedang berlari berkejar-kejaran menerjang genangan air yang disebabkan oleh hujan sambil memegang bendera merah putih yang diikat pada sebuah kayu.
            Semoga aku, kamu, dia, dan mereka nantinya mampu membuat negeri ini menjadi lebih baik lagi. Jayalah selalu, Indonesiaku!
            ***
                                          

Komentar

Postingan populer dari blog ini

[CERPEN] Nostalgia Lebaran (Dimuat di Koran Waspada, Minggu 8 Juli 2018)

[CERPEN ANAK] Terima Kasih Guruku (Dimuat di Rubrik Taman Riang Koran Analisa, Minggu 27 November 2016)