[CERPEN] Nostalgia Lebaran (Dimuat di Koran Waspada, Minggu 8 Juli 2018)

Koran Waspada Versi Digital




Nostalgia Lebaran
Oleh : Feby Farayola
           
            Suara takbir bersahut-sahutan. Namun perempuan itu masih sibuk di dapur membuat beraneka hidangan untuk disantap saat idul fitri yang jatuh pada esok hari. Sesekali ia mengaduk kuah opor ayam yang sedang menggelegak di dalam kuali agar santannya tidak pecah. Kemudian kembali sibuk memotong-motong cabai untuk membuat tauco.
            Di malam takbiran seperti saat ini, perempuan itu terkenang pada malam-malam takbiran yang pernah dilewati bersama keluarganya di kampung. Biasanya ia dan keluarga besarnya akan berkumpul di rumah seorang wanita paruh baya yang biasa ia panggil bude. Malam takbiran dilalui dengan acara bakar-bakar ayam. Karena tidak semua anggota keluarganya suka ayam bakar maka ikan lele dan ikan nila bakar juga dihidangkan. Tidak terlupa pula dengan sambal kecap.
            Tidak ada anggota keluarga yang memasang waka duka. Suara gelak tawa mereka menyatu. Semua bersuka cita menyambut datangnya hari kemenangan bagi umat muslim dengan kehangatan keluarga yang begitu menenangkan.
            Namun setelah membangun keluarga sendiri dan tinggal jauh dari kampung, kebersamaan keluarga pada malam takbiran seperti dahulu sudah jarang perempuan itu rasakan. Terhitung hingga saat ini, sudah tiga kali lebaran berlalu dan ia tak kunjung mendapat kesempatan pulang kampung dan merayakan bersama keluarga besarnya. Penyebabnya beragam. Di tahun pertama, ia beserta suami dan anak laki-lakinya kehabisan tiket. Baik itu tiket pesawat, bus, dan transportasi lainnya. Banyaknya jumlah orang yang mudik membuat perempuan itu harus menelan kerinduan untuk keluarganya. Di tahun kedua, jatah cuti suaminya hanya beberapa hari.
            “Jarak antara Kalimantan dan Medan itu sangat jauh. Tidak mungkin kita bisa pulang kampung dengan jatah cuti yang hanya tiga hari.” Ucap suaminya pada waktu itu.
            “Sudah dua kali lebaran dan kita tetap tidak bisa pulang kampung.” Perempuan itu tidak bisa menyembunyikan wajah murungnya. Hasrat ingin pulang kampung begitu menggebu-gebu dalam dirinya.
            “Lebaran tahun depan kita pasti pulang kampung.” Laki-laki itu mencoba menghibur istrinya.
            Dan percakapan mengenai pulang kampung waktu itu berakhir begitu saja.
            Dan ternyata pada lebaran tahun ini kesempatan pulang kampung tak juga datang. Penyebabnya adalah kecelakaan yang menimpa anak laki-lakinya. Kecelakaan itu terjadi ketika anak laki-lakinya hendak menyeberang saat pulang sekolah. Tiba-tiba saja sebuah mobil berkecepatan tinggi menabrak tubuh mungil anak tersebut. Kondisinya cukup parah. Hal tersebut tidak memungkinkan untuknya melakukan perjalanan jauh.
            Sejak memutuskan untuk menikah dengan seorang laki-laki yang bekerja pada sebuah perkebunan kelapa sawit yang ada di Kalimatan, perempuan itu sudah menduga kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi. Dan salah satu kemungkinan itu yaitu sulitnya mendapat kesempatan untuk pulang kampung. Namun ia tidak menyangka kesulitan tersebut akan menjadi seperti ini.
            Percakapannya dengan ibunya siang tadi melalui telepon kembali terngiang.
            “Tidak pulang lagi? Kali ini kenapa?”
            “Farhan kecelakaan bu. Konndisinya parah dan tidak memungkinkan untuk melakukan perjalanan jauh.”
            Terdengar suara helaan nafas dari seberang telepon. “Ya sudah, ibu kirim salam untuknya. Semoga dia cepat sembuh.”
            Hening sejenak.
            “Apa kamu tidak merindukan kami di sini, Rasti? Ibu, bapak, sepupu-sepupumu, kenponakan-keponakanmu?”
            Tidak perlu dijawab, wanita paruh baya itu sudah tahu jawaban anaknya. Sebab selama ini ia begitu sering menghubungi keluarganya di kampung untuk melepas sedikit kerinduan.
            “Apa suamimu terlalu mementingkan pekerjaan sehingga waktu liburnya minim sekali?” Tanya wanita paruh baya itu lagi.
            “Ini bukan tentang suamiku, bu. Ini tentang kesempatan yang tak kunjung datang.”
            “Sudahlah, semoga kalian di sana selalu sehat dan segera diberi kesempatan untuk pulang kampung.”
            Telepon diputus.
            Rasa sesak menjejali hati perempuan itu. Sungguh tidak ada obat kerinduan yang paling mujarap selain sebuah pertemuan.
            ***
            Karena tinggal di tanah perantauan, maka idul fitri dilewati hanya dengan suami dan anak laki-lakinya yang kondisinya masih lemah. Idul fitri kali ini perempuan itu memasak lebih banyak dari tahun-tahun sebelumnya. Di atas meja makan telah terhidang ketupat, opor ayam, tauco, mie gomak khas Sumatera Utara dengan bumbu kacang, daging rendang, dan bebek rica-rica.
            “Bagaimana cara menghabiskan makanan sebanyak ini?” Suami perempuan itu memandang makanan-makanan tersebut dengan heran.
            “Bagikan saja ke tetangga.” Sahutnya acuk tak acuh.
            Sebenarnya laki-laki itu paham betul, bahwa kerinduan terhadap kampung halaman telah memuncak di hati istrinya. Berdasarkan pengalaman idul fitri yang pernah dilaluinya di rumah keluarga istrinya, makanan-makanan tersebut adalah menu wajib yang harus tersedia saat idul fitri. Khusunyaa bebek rica-rica. Namun apa mau dikata, kesempatan pulang kampung belum datang. Istrinya itu pasti sedang terkenang saat-saat idul fitri bersama keluarganya.
            “Kamu menyesal?” Tanya laki-laki itu pada istrinya.
            “Apa maksudnya?” Perempuan itu balas bertanya.
            “Kamu menyesal karena menikah dengan laki-laki yang membuatmu jauh dari keluargamu?”
            “Pertanyaan macam apa itu?” Balas perempuan itu sambil tertawa. “Jangan berpikir macam-macam. Aku hanya sedang rindu kampung halaman.” Ucap perempuan itu lagi.
            Di luar, gerimis tiba-tiba turun. Gerimis seolah mengantarkan kenangan lebih banyak dalam pikiran perempuan itu. Rengekan keponakan-keponakannya saat meminta ampau di hari lebaran, saling bertukar cerita bersama sepupu-sepupunya dalam menjadi hidup baru bersama suami, bercanda tawa dengan anggota keluarga yang lebih tua. Ah, sungguh ia merindukan saat-saat itu.
            “Selepas lebaran sepertinya aku bisa meminta cuti agak lama. Tidak apa-apa kalau kita pulang kampung saat itu?” Ucap laki-laki itu lagi.
            “Sungguh?”
            Laki-laki itu mengangguk.
            “Semoga saat itu keadaan Farhan sudah membaik.” Ucap perempuan itu dengan senyum lebar.
            ***
                                               

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

[CERPEN] "Merah Putih di Atas Api" Dimuat di Koran Waspada Minggu, 13 Agustus 2017

[CERPEN ANAK] Terima Kasih Guruku (Dimuat di Rubrik Taman Riang Koran Analisa, Minggu 27 November 2016)