[CERPEN] Adzan di Tengah Hujan

           Sayup-sayup, ku dengar asma Allah berkumandang di tengah rintik hujan yang turun dengan deras ketika matahari telah beristirahat. Ku lirik arloji yang melingkar di pergelangan tanganku. Sudah waktunya untuk menunaikan sholat magrib. Bergegas ku ambil payung dan berjalan menuju mesjid yang letaknya tidak jauh dari rumahku.
Di sana, aku bertemu dengan seorang Pak tua yang menyambut kedatanganku dengan senyum ramah di wajahnya yang telah digerogoti usia. Lalu Pak tua itu menyapu pandangannya ke seisi mesjid yang hanya ada aku dan dirinya. Senyum ramah di wajahnya luntur seketika. Aku ikut menyapu pandanganku ke seisi mesjid. Mungkinkah keadaan mesjid yang sepi yang membuat air mukanya berubah? Belum sempat aku berfikir lebih jauh, Pak tua itu mengumandangkan takbir. Memulai sholat berjamaah yang pimpin olehnya.
Usai sholat, sebelum aku kembali ke rumah, Pak tua itu mengajakku berbincang sejenak. Katanya, ia ingin mengenalku lebih dalam. Maklum saja, aku adalah warga baru di kampung ini.
“Apa pekerjaanmu anak muda?” tanya Pak tua itu.
“Saya bekerja sebagai karyawan di pabrik kelapa sawit, Pak,” jawabku.
Pak tua itu berfikir sejenak, lalu ia bertanya lagi, “Apakah pekerjaanmu memakan banyak waktu?”
“Kadang iya, kadang tidak.”
“Kau tahu anak muda? Kau adalah orang pertama yang sholat di mesjid ini selain aku.” Sesaat kemudian ia berkata, “Baiklah, sepertinya sudah waktunya untuk pulang. Kalau sempat, datang lagi ketika sholat isya nanti.”
Aku dan Pak tua itu berjalan bersisian menuju rumah masing-masing. Jalanan becek dan berlumpur. Aku sampai harus mengangkat kain sarung yang ku kenakan agar tidak kotor. Tiba-tiba sebuah terios melintas, membuat genangan air sisa hujan sore tadi memercik ke baju koko berwarna putih yang dikenakan Pak tua itu. Pak tua itu mengucap istighfar. Aku melihat sedikit amarah di wajahnya. Namun, sesaat kemudian amarah itu seperti lenyap begitu saja.
Salah satu kaca pintu depan terios itu terbuka. Wajah Pak lurah menyembul di baliknya. “Maaf Pak Umar!” Tiada keramahan atau rasa bersalah yang ku lihat di wajah Pak lurah. Usai meminta maaf dengan nada terpaksa, ia kembali melajukan teriosnya.
Sepanjang sisa perjalanan menuju rumah, aku dan Pak tua itu saling diam.
***
Keesokan harinya ketika aku baru pulang bekerja, aku singgah ke sebuah rumah makan untuk membeli lauk. Hari ini istriku sedang sakit. Maka, ku suruh ia beristirahat saja. Pekerjaan rumah biar aku yang menyelesaikan ketika telah pulang kerja nanti.
Mega mendung terbentang di atas sana. Sepertinya sebentar lagi alam akan menumpahkan tangisnya. Cepat-cepat aku membayar lauk yang aku beli lalu bergegas pulang. Baru saja aku hendak beranjak pergi, sebuah suara menghentikan langkahku.
“Nak Ali, sebentar!” Aku berbalik. Kudapati Pak lurah menuju ke arahku. “Bisa kita mengobrol sebentar?” tanyanya sambil menepuk pelan bahuku.
Aku ragu sejenak. Ku lirik arloji yang ku kenakan. Jam menunjukkan pukul 4 sore. Istriku pasti cemas menungguku pulang, karena mega mendung semakin tebal. Ia tahu, aku tidak terbiasa mengemudi ketika hujan.
Seolah dapat membaca apa yang ada di fikiranku, Pak lurah berkata, “Ayolah, hanya sebentar.”
Akhirnya, ku turuti keinginan Pak lurah. Ia bertanya, “Apa hubungan nak Ali dengan Pak Umar?”
            “Kemarin kami bertemu di mesjid ketika sholat magrib, Pak.”
            “Oh begitu ya…” Pak lurah menghusap-husap dagunya. “Apakah Pak Umar ada mengatakan sesuatu? Atau menanyakan sesuatu?”
            “Pak Umar hanya bertanya tentang pekerjaan saya, Pak.”
            “Hanya itu?”
            “Ya.”
            Cukup lama Pak lurah terdiam sebelum akhirnya ia mengatakan, “Ya sudah, sekarang pulang lah. Istrimu pasti sudah menunggumu.”
            Aku tersenyum sambil menganggukkan kepala, lalu berlalu dari hadapan Pak lurah. Tatapan aneh dilemparkan pengunjung rumah makan itu usai aku berbincang dengan Pak lurah. Apa yang salah denganku?
            ***
            Petang ini, Allah kembali melimpahkan rahmat-Nya kepada penduduk bumi berupa hujan. Sayup-sayup, adzan di tengah hujan yang kuyakini dikumandangkan oleh Pak tua yang bernama Umar itu terdengar. Ku kembangkan payung untuk melindungiku dari serangan pasukan hujan, lalu melangkah ringan menuju mesjid. Seperti biasa, mesjid ini hanya dimakmurkan oleh aku dan Pak Umar. Seperti biasa, senyum ramah Pak Umar selalu menyambutku. Tetapi, ada yang berbeda dengan Pak Umar hari ini. Tatapannya seolah meredup. Ketika kami berbincang sehabis sholat, Pak Umar kebanyakan diam. Ada apa dengannya?
            ***
            Penyempurna iman ku masih belum pulih kesehatannya. Maka, hari ini aku berniat kembali mendatangi rumah makan waktu itu untuk membeli lauk. Di tengah perjalanan, aku mendapatkan hambatan. Kerumunan warga membuat sepeda motorku tidak bisa melaju. Mereka meneriakkan kata-kata kasar dengan wajah berapi-api di depan sebuah rumah gubuk. Penasaran, ku tepikan sepeda motorku lalu mencoba mengorek informasi dari salah satu mereka.
            Langkahku terhenti saat menyadari keberadaanku kini. Bukankah rumah gubuk yang dikepung oleh warga itu adalah rumah Pak Umar? Ku terobos kerumunan itu tanpa perduli umpatan-umpatan yang mereka lontarkan pada ku. Tepat di depan rumah gubuk itu, pandanganku menangkap sesuatu yang membuat sekujur tubuhku terasa membeku seketika. Pak Umar tergeletak tak berdaya di pangkuan seorang anak laki-laki yang sedang menangis dengan memar di sekujur tubuhnya.
            “Astaghfirullah, apa yang sebenarnya terjadi Pak?”
            Pak Umar menjawab dengan nafas putus-putus, “a-a-at tt-tau-taubah a-ayat dd-de-delap-an nak. La ilaha illallah.”
Itu adalah ucapan terakhir Pak Umar yang ku dengar. Kini, ia telah pergi jauh. Kerumunan warga yang masih berada di sana mengiringi kepergian Pak Umar dengan senyum sinis. Senyum sinis itu bagai belati yang mengoyak-ngoyak hatiku. Pak Umar sudah ku anggap seperti ayahku sendiri. Ketika aku duduk di bangku kelas 5 SD, ayahku telah berpulang. Tak pernah lagi aku merasakan kehangatan kasih sayang seorang Ayah sebelum bertemu Pak Umar. Mengapa kerumuanan warga itu tega menghabisinya hingga meregang nyawa? Adakah seseorang yang mampu menyingkirkan tanda tanya itu dari fikiranku?
***
Tidak banyak yang datang ke pemakaman Pak Umar. Hanya ada aku, istriku, anak laki-laki yang bersama Pak Umar waktu itu, serta empat orang penggali kubur yang juga ikut melaksanakan fardhu kifayah.
Satu persatu penggali kubur itu beranjak pergi. Ku suruh istriku pulang terlebih dahulu. Di depan pusara Pak Umar tersisa aku dan anak laki-laki itu. Kira-kira ia berumur sepuluh tahun. Mulanya ia malu-malu mendekatiku. Kelamaan, ia mulai bercerita, “Saya ini anak yang diadopsi Kakek Umar dari panti asuhan, Pak. Dulu, Kek Umar adalah seorang preman yang paling ditakuti di kampung ini. Kek Umar sering membuat warga kampung susah. Tapi, setelah kehilangan istrinya yang selalu menasehatinya untuk bertaubat, Kek Umar mulai sadar kalau ia memang harus berubah. Kek Umar berusaha mati-matian agar ia bisa berubah dan mendalami ilmu agama. Mesjid itu adalah hasil keringat Kek Umar, Pak. Sayangnya ketika Kek Umar benar-benar telah meninggalkan masa-masa kelamnya, nggak ada satupun warga yang percaya kalau Kek Umar bukan sosok yang dulu lagi. Mereka bilang Kek Umar hanya berpura-pura dan sok suci.” Air mata anak laki-laki itu kembali merembes. “Sekarang Kek Umar udah nggak ada, Pak. Siapa yang akan menjaga saya?”
Anak laki-laki itu terlihat begitu rapuh. Ku tepuk pelan bahunya sambil berkata, “Kamu jangan sedih ya. Kek Umar pasti nggak suka kalau melihat kamu sedih. Kamu akan saya angkat menjadi anak saya. Kamu mau kan, nak?”
Perlahan, anak itu mengangguk. Kutepuk-tepuk bahunya sambil tersenyum lalu mengajaknya pulang.
Setibanya di rumah aku membuka al-qur’an terjemahan milikku lalu membaca terjemahan ayat yang Pak Umar beritahu padaku sebelum ia beristirahat dengan tenang di keabadian.
“Hanyalah yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap mendirikan sholat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk” (Q.S. at-Taubah:18)
Subhanallah, Pak Umar benar-benar membuatku kagum. Ia mengingatkanku pada sosok Umar bin khatab, sahabat rasulullah. Andai warga kampung tahu, setiap orang jahat pasti bisa berubah menjadi pribadi yang lebih baik.
Selepas Pak Umar pergi, akulah yang membuat adzan tetap berkumandang di mesjid itu.
***

(Dimuat di Koran Medan Pos)
NB: Mohon maaf, saya lupa cerpen ini dimuatnya tanggal berapa hehe

                                               
                                                           
                                           


Komentar

Postingan populer dari blog ini

[CERPEN] Nostalgia Lebaran (Dimuat di Koran Waspada, Minggu 8 Juli 2018)

[CERPEN] "Merah Putih di Atas Api" Dimuat di Koran Waspada Minggu, 13 Agustus 2017

[CERPEN ANAK] Terima Kasih Guruku (Dimuat di Rubrik Taman Riang Koran Analisa, Minggu 27 November 2016)