[CERPEN] Senja di Wajah Ibu (Dimuat di Koran Analisa, Rabu 9 Mei 2018)
Senja
di Wajah Ibu
Oleh : Feby Farayola
Aku tidak takut pada kematian. Tidak
pula pada kejahatan dan luka batin yang diberikan oleh mereka. Aku hanya takut
jika waktuku untuk mencintaimu telah habis, bu.
Malam ini suara batuk ibu kembali
menyentuh indra pendengaranku. Perhatianku pada laptop teralihkan. Bergegas aku
menuju dapur untuk membawakan ibu segelas air putih hangat.
“Sudah satu bulan. Tapi batuk ibu
nggak juga sembuh,” ucapku sambil meletakkan segelas air putih hangat tadi di
atas meja kecil dekat tempat tidur ibu.
“Sebelumnya ibu juga pernah seperti
ini. Kamu ingat, kan?”
“Tapi kali ini satu bulan bu.”
“Ra, pikirkan saja skripsimu. Nanti
ibu pasti sembuh.”
Aku menghela nafas panjang. Dialog
seperti ini bukan terjadi pertama kalinya antara aku dengan ibu. Berkali waktu
aku mencoba membawa ibu untuk konsultasi ke dokter mengenai batuknya yang tak
kunjung sembuh. Namun buah dari hal itu adalah penolakan. Aku paham, keuangan
keluarga kami sedang buruk. Kakak laki-lakiku baru saja menerima surat
pemecatan. Sedangkan ayahku telah lama beristirahat di keabadian. Kini ibuku
adalah tulang punggung keluarga. Bukan tidak pernah aku ingin membantunya
mengumpulkan pundi-pundi rupiah. Namun, penolakan kembali menjadi hal yang
harus ku telan dari ibu.
“Ibu hanya tidak ingin kamu tidak
fokus kuliah, Ra.”
Itu adalah alasan klasik yang selalu
dilemparkan ibu padaku jika aku bertanya perihal penolakannya terhadap
keinginanku untuk bekerja sambil kuliah. Sebenarnya beban ibu akan jauh lebih
ringan jika ia menerima pinangan Pak Anwar, seorang camat di daerah tempat aku
tinggal. Sama seperti ibu, Pak Anwar telah lama ditinggal oleh pasangan
hidupnya. Tetapi ibu menolak mentah-mentah pinangan tersebut.
Beberapa bulan yang lalu aku
mendapatkan beasiswa dari kampus yang jumlah nominalnya lebih dari cukup untuk
melunasi biaya kuliahku. Sisanya, aku mengajak ibu dan kakak laki-lakiku
berlibur ke suatu pantai yang memiliki pemandangan yang cukup indah. Ibu
menyukai pantai. Itulah sebbanya aku memilih pantai sebagai tempat kami
berlibur. Kami memesan sebuah kamar hotel yang letaknya tak jauh dari pantai
tersebut.
Waktu itu, ketika semburat orange memeluk
langit ibu berkata padaku, “Setiap orang pasti mampu mendapatkan hidup seperti
apa yang diimpikannya asalkan mereka memilih pilihan yang tepat, Ra.”
Aku menatap ibu dengan tatapan
heran. Apa maksud ucapan ibu? Semilir angin yang berhembus di balkon kamar
hotel ini menyibak rambut ikalku. Membuatnya berantakan. Sambil merapikan
rambut aku bertanya, “Apa maksud ibu?”
“Ayahmu adalah laki-laki yang baik,
Ra. Dia memang bukan laki-laki yang kaya secara materi. Tapi dia kaya iman,
kaya hati, dan kaya akan kebaikan,” ucap ibu sambil sesekali menghela nafas.
“Lalu?” Aku masih belum mengerti
arah pemibcaraan ibu.
“Dulu pernah ada seorang laki-laki
kaya yang melamar ibu. Tapi ibu menolaknya,” ucap ibu lagi.
“Kenapa bu?”
“Laki-laki itu memang kaya secara
materi. Tapi, dia terkenal sebagai pemabuk, penjudi, dan abai dengan perintah
agama.”
Aku mengangguk-anggukkan kepala. Perlahan
mulai mengerti arah pembicaraan ibu.
Matahari mulai terbenam. Semburat
orange yang sejak tadi memeluk langit telah menghilang. Digantikan kegelapan
yang mulai membentang. Sepertinya aku tahu mengapa ibu membahas mengenai hal
ini padaku. Selain sebentar lagi aku akan wisuda, ada seorang laki-laki yang
selama beberapa tahun terakhir menjadi penghuni di ruang hati ini. Beberapa
minggu yang lalu laki-laki ini memberanikan datang ke rumahku bersama keluarga
besarnya untuk menyampaikan niat baiknya. Yaitu akan menikahiku usai wisuda.
“Senja sudah pergi dari langit, Ra.
Dan sekarang beralih ke wajah ibu.”
Ah, lagi-lagi ibu mengucapkan
kalimat yang sulit ku mengerti. Aku tahu, dulu ibuku adalah seorang sarjana
sastra. Namun bukan berarti ibu harus menggunakan majas saat berdialog
denganku, kan? Ku akui, puisi-puisi ciptaan ibu memang indah. Namun bakat
tersebut tidak menurun pada kedua anaknya. Baik aku maupun kakak laki-lakiku
sering merasa kesulitan memahami kata-kata puitis ibu.
“Ibu sudah semakin tua, Ra. Jika
kamu sudah menemukan laki-laki yang tepat sebelum waktu ibu di dunia ini habis,
ibu akan pergi dengan tenang.”
Refleks aku memluk ibu erat-erat.
“Ibu jangan ngomong begitu.”
***
Semakin hari batuk ibu semakin
parah. Aku tidak tahan lagi. Ku bawa ibu ke dokter bersama kakak laki-lakiku.
Setelah dokter memeriksa keadaan ibu, aku dan kakak laki-lakiku mendengar vonis
yang mengejutkan.
“Ibu kalian menderita kanker
paru-paru stadium 4.”
Sebaris kalimat itu bagai petir yang
menyambar pendengaranku. Astaga ibu! Aku menangis dalam pelukan kakak
laki-lakiku.
“Mengapa ibu menyembunyikan penyakit
ini dari kami?” tanyaku sambil sesegukan.
“Ibu rindu dengan ayah kalian, Ra,”
jawab ibu dengan wajah memucat.
Astaga ibu! Apa yang sebenarnya ibu
fikirkan?
Tiba-tiba ibu terbatuk parah.
Nafasnya memburu. Aku kelimpungan memanggil dokter. Namun ketika dokter tiba di
ruangan tempat ibu dirawat, nafas ibu telah berhenti.
***
Komentar
Posting Komentar