[CERPEN] Menjelang Subuh (Dimuat di Koran Waspada, Minggu 10 Juni 2018)

Koran Waspada Versi Digital




Menjelang Subuh
Cerpen : Feby Farayola
           
            Malam merangkak menuju pagi. Sementara sang rembulan dan bintang-bintang bersiap untuk terlelap sebab sebentar lagi sang mentari akan menggantikan tugas mereka dalam memberikan cahaya untuk penduduk bumi.
            Jam menunjukkan pukul 4 pagi. Suasana di sebuah kompleks perumahan yang terletak di pinggir kota itu tampak begitu sunyi. Kesunyian tersebut pecah ketika seorang gadis berpakaian minim baru saja turun dari sebuah mobil mewah berwarna silver. Dengan langkah sempoyongan ia berulang kali menekan bel sebuah rumah bertingkat dua.
            “Lama sekali pembantu itu membuka pintu,” gerutu gadis tersebut. Karena pintu gerbang rumah tersebut tak kunjung terbuka, gadis itu kembali masuk ke dalam mobilnya lalu membunyikan klakson berulang-ulang. Mengundang keributan. Selang berapa menit kemudian, pintu gerbang rumah tersebut dibuka oleh seorang wanita paruh baya yang mengenakan daster.
            “Non Keira mabuk-mabukan lagi?” tanya wanita paruh baya itu ketika gadis berpakaian minim tadi telah kembali turun dari mobilnya.
            “Berisik!” Gadis tersebut mengabaikan ucapan wanita paruh baya itu lalu masuk begitu saja ke dalam rumahnya.
            Sementara itu di dalam sebuah rumah lainnya seorang pemuda sibuk berkutat dengan gagdetnya. Entah apa yang dikerjakannya dengan benda berbentuk persegi panjang tersebut sehingga ia mampu terjaga hingga menjelang pagi seperti saat ini. Sesekali pemuda itu menggerutu, terkadang ia tertawa, dan terkadang ia menjerit tertahan.    Tiba-tiba pintu kamar pemuda tersebut diketuk.
            “Belum tidur Ri? Lebih baik kamu sholat tahajud. Mumpung masih ada waktu,” suara serak milik seorang wanita paruh baya terdengar dari balik pintu.
            “Iya sebentar lagi, bu.” Pemuda itu masih asyik dengan gagdetnya.
            “Daripada membuang waktu dengan hal sia-sia lebih baik kamu beribadah.”
            “Iya bu, sebentar lagi aku wudhu.”
            Wanita paruh baya itu menghembuskan nafas sambil meninggalkan kamar anak laki-lakinya yang telah kecanduan dengan benda elektronik tersebut.
            Kompleks perumahan yang berisi rumah-rumah mewah itu kembali lengang. Sebelum akhirnya sebuah mobil mewah berwarna hitam berhenti di depan sebuah rumah yang pagarnya berwarna hitam. Seorang lelaki dengan perut buncit tampak baru turun dari mobil tersebut diiringi dengan dua orang gadis muda. Dengan langkah sempoyongan lelaki berperut buncit itu masuk ke dalam rumah tersebut dengan dibantu oleh kedua gadis tersebut. Bau alkohol menguar dari mulut ketiganya.
            Lelaki berperut buncit itu adalah orang terkaya di kompleks perumahan tersebut. Dirinya adalah seorang pengusaha yang sukses. Namun, lelaki itu hanya sukses dalam urusan duniawi. Sedangkan dalam urusan akhirat dirinya tidak terlalu perduli.
            Hampir setiap malam lelaki itu mengadakan pesta dari malam hingga menjelang pagi di rumahnya yang megah layaknya istana. Tetapi siapa pula yang perduli? Tidak ada. Khusus malam ini ia mengadakan pesta tersebut di luar rumahnya.
            Sementara itu, di sebelah kompleks perumahan tersebut yang dibatasi dengan sungai berair keruh beridiri sebuah pemukiman kumuh. Di antara kompleks perumahan dan pemukiman kumuh tersebut juga berdiri sebuah mesjid yang syukurnya tidak pernah kosong. Ya, warga yang tinggal di pemukiman kumuh tersebut selalu memakmurkan mesjid tersebut. Namun ada juga beberapa penghuni kompleks perumahan mewah yang menjadi jamaah tetap mesjid tersebut.
            Waktu terus melaju. Tanpa terasa adzan subuh telah berkumandang. Seperti subuh-subuh sebelumnya, mesjid itu tetap terisi oleh para jamaah yang ingin menunaikan kewajiban sebagai seornag hamba meski jumlahnya tak sebanyak ketika sholat berjamaah di waktu yang lain.
            Seorang bocah laki-laki mengayuh sepedanya dari mesjid menuju pemukiman kumuh tersebut usai kegiatan sholat subuh berjamaah di mesjid selesai. Bocah laki-laki itu mengayuh sepedanya dengan semangat meski udara pagi hari membuat tubuh mungilnya menggigil. Setibanya di rumah, ibunya telah menunggunya di atas kursi roda sambil menyulam.
            “Adzan subuh tadi kamu yang mengumandangkan, nak?” tanya wanita paruh baya yang duduk di kursi roda tersebut.
            “Iya bu. Bagaimana menurut ibu?” ucap bocah laki-laki itu sambil duduk pada sebuah kursi kayu di dekat ibunya.
            “Seperti biasa, suara anak ibu terdengar merdu.”
            “Oh iya bu tadi waktu aku memungut sampah di perumahan sebelah sebelum subuh, aku lihat ada kakak cantik yang pakai pakaian serba pendek baru pulang ke rumahnya.”
            Sang ibu tersenyum mendengarkan cerita anaknya. Terlebih ketika ia mengucapkan kata “pakian serba pendek”.
            Sebelum subuh, bocah laki-laki itu memang selalu datang ke kompleks perumahan mewah tersebut untuk memungut sampah-sampah yang barangkali dapat dijadikan uang. Dengan sepeda bututnya, ia beranjak dari satu tempat sampah ke tempat sampah yang lain di setiap rumah. Ketika mendekati waktu subuh barulah ia menghentikan kegiatannya dan bergegas menuju mesjid untuk melaksanakan sholat subuh berjamaah. Sesekali dirinya mengumandangkan adzan.
            “Kakak cantik itu kayaknya mabuk bu. Soalnya jalannya sempoyongan seperti preman pasar yang habis minum tuak yang sering buat keributan di sekitar rumah kita.”
            “Lalu?” senyum di bibir sang ibu belum luntur.
            “Aku juga lihat ada oom gendut yang mabuk. Oom gendut itu dibantu dua kakak cantik berpakaian serba pendek juga masuk ke dalam rumahnya.”
            Sang ibu menghembuskan nafas lalu menghentikan kegiatan menyulamnya. Ia mengelus kepala anaknya sambil berkata, “Nak, kalau sudah dewasa nanti kamu menjadi seseorang dengan harta yang berlimpah, jangan habiskan hartamu untuk hal-hal yang sia-sia ya.”
            “Hal-hal sia-sia seperti apa maksud ibu?”
            “Hal-hal yang dilarang agama.”
            “Seperti mabuk-mabukan ya bu?” tanya bocah laki-laki itu lagi dengan wajah polos.
            “Iya. Ingat selalu apa yang pernah ibu bilang. Harta yang kita miliki datangnya dari allah. Maka sudah selayaknya kita menggunakannya untuk hal-hal yang disenangi allah.”
            “Baik, bu. Aku mengerti. Aku mau membersihkan sampah-sampah yang bisa dijual ke agen pemulung dulu ya bu. Habis itu aku mau mandi. Soalnya takut terlambat datang ke sekolah,” ucap bocah laki-laki itu.
            Wanita paruh baya itu mengangguk dengan senyuman yang masih bertahan di bibirnya. Dalam hati ia bersyukur meski allah mengambil suaminya, kedua kakinya, dan ia juga harus hidup pas-pasan seperti saat ini, namun allah masih mengizinkannya melahirkan sosok malaikat kecil dalam hidupnya. Malaikat kecil itu yaitu bocah laki-laki tadi.
            ***
                       

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

[CERPEN] Nostalgia Lebaran (Dimuat di Koran Waspada, Minggu 8 Juli 2018)

[CERPEN] "Merah Putih di Atas Api" Dimuat di Koran Waspada Minggu, 13 Agustus 2017

[CERPEN ANAK] Terima Kasih Guruku (Dimuat di Rubrik Taman Riang Koran Analisa, Minggu 27 November 2016)