[CERPEN] Sekali Lagi (Dimuat di Koran Medan Pos, Minggu 8 Oktober 2017)
Koran Medan Pos Versi Digital |
Aku tidak membenci luka yang kau
beri. Hanya saja aku belum bisa memaafkannya. Namun sejujurnya, namamu masih
terpatri di dalam hati.
Katamu kau ingin tetap tinggal? Lalu
mengapa saat itu kau tanam luka di hatiku? Sekali lagi ku tegaskan, luka itu
bukan masalah bagiku. Sebab aku adalah gadis yang kuat. Seiring berjalannya
waktu aku yakin luka itu akan sembuh. Namun sungguh aku tak mengerti akan
sikapmu. Kau pergi meninggalkan luka lalu kembali dengan membawa lagi cinta.
Kau fikir hatiku apa?
“Waktu itu kita masih SMA, Din. Dan
aku belum bisa berfikir secara matang. Egoku masih begitu tinggi saat itu.
Sekarang aku datang untuk memperbaiki semuanya. Memperbaiki hubungan kita dan
juga hatimu yang ku lukai. Aku mohon, beri aku kesempatan.”
Aku membuang muka sambil
menghembuskan nafas panjang. Di luar hujan masih turun dengan deras. Suasana
café yang sunyi membekukan keheningan. Sudah hampir satu jam aku dan dia duduk
berhadapan sambil membicarakan hal-hal yang membuat dadaku terasa sesak. Luka,
masa lalu, dan kesempatan.
“Apa aku punya alasan untuk
memberimu kesempatan?” Setelah sekian lama bungkam akhirnya aku memberanikan
diri untuk bersuara.
“Percayalah padaku, Din. Percayalah!
Hanya itu yang ku butuhkan.”
Aku kembali mengalihkan pandanganku
sembari mengumpulkan energi untuk menatap matanya secara langsung. Menatap kedua
bola mata itu membuatku lelah. Di sana aku melihat banyak hal. Penyesalan,
harapan, dan kesedihan. Namun apakah aku harus peduli pada semua itu setelah
derai air mata yang jatuh karenanya?
Dua tahun sudah berlalu pasca
kelulusan SMA. Sudah dua tahun pula kami berpisah. Satu tahun berlalu tanpa
kabar apa-apa. Satu tahun berikutnya dia kembali dengan memuntahkan semua isi
hatinya. Katanya; dia menyesal, dia ingin kembali merajut kisah, dia
menginginkan aku lagi, dia tak ingin kehilangan aku lagi. Mulanya aku
mengacuhkannya. Namun semakin hari usahanya untuk mendapatkan maafku semakin
membuat dinding luka itu runtuh perlahan-lahan.
Fikiranku kalut. Perasaanku tak
menentu. Mengapa harus seperti ini?
“Jujur saja, aku belum bisa menerima
semua yang telah kau lakukan padaku. Namun kadang di sini,” Aku menarik nafas
panjang lalu menghembuskannya. “masih ada namamu,” ucapku sambil menunjuk dadaku.
Alasan kami berpisah sebenarnya
menurutku begitu sederhana. Kami sama-sama lelah dengan semuanya. Semakin lama
semuanya terasa hampa. Tak ada lagi canda tawa. Hari-hari berlalu dengan
pertengkaran dan air mata. Tidak ada yang mengalah ketika sedang dihadang
masalah. Tidak ada yang perduli ketika salah satu dari kami tersakiti.
Aku menyeruput segelas cappuccino
hangat lalu bertanya, “Kadang aku berfikir, apa mungkin waktu itu aku
menggenggammu terlalu erat? Dan aku tidak sadar bahwa kamu tidak menyukainya?”
“Bukan begitu,” sergahnya. “Aku yang
tidak sadar bahwa caramu menggenggamku adalah tanda bahwa kau tidak ingin
kehilanganku. Sudah ku bilang bukan bahwa waktu itu aku masih seorang remaja
dengan pola fikir yang belum dewasa? Sekarang aku sudah berubah, Din.
Percayalah!” ucapnya dengan wajah memelas.
Ada sesuatu yang terasa
menusuk-nusuk di dadaku ketika aku melihat wajah memelas itu.
“Berhenti memasang wajah memelas
seperti itu, Vin.”
Dia menghusap wajahnya lalu
menatapku dengan tatapan yang begitu teduh. Perlahan, ia menggenggam tanganku.
“Apa yang kamu rasakan sekarang,
Din?” tanyanya.
Aku ingin melepaskan tanganku dari
genggamannya. Namun ia malah menggenggamnya semakin erat.
“Jawab lah Din,” desaknya.
Aku menunduk sambil berfikir, apa
masih perlu aku berkata jujur mengenai perasaanku padanya?
“Mengapa aku harus menjawabnya?”
Lama dia menatapku sebelum berkata,
“Agar aku tahu apa yang harus aku lakukan setelah ini.”
Tidak ada jawaban apa-apa yang ku
berikan padanya. Suara hujan yang bergemuruh mendominasi. Tiba-tiba aku merasa
takut. Bagaimana jika setelah ini ia akan pergi? Oh ya tuhan, sebenarnya apa
yang ku rasakan? Di satu sisi aku belum bisa menerima caranya menyakitiku.
Namun di sisi lain aku masih menantinya kembali.
Tanpa ku sadari air mataku menetes.
Tangan yang kokoh itu segera menghapusnya.
“Kenapa kamu menangis, Din? Kalau
penyebabnya adalah aku, ku mohon berhentilah menangis. Aku tidak ingin lagi
jadi penyebab air matamu.”
Aku mencoba menstabilkan nafasku
yang tak beraturan lalu berkata, “Apa kamu ingat Vin apa penyebab kita berpisah
dulu?”
Lagi-lagi ia menatapku lama sebelum
menjawab, “Tentu saja aku ingat.”
Masa putih abu-abuku adalah
masa-masa yang penuh warna. Dia adalah salah satu warna itu. Suka duka dalam persahabatan
maupun cinta ku rasakan saat itu. Tetapi aku tidak menyangkan bahwa kisah cinta
klasik di masa itu terus menghantuiku hingga kini walaupun masa itu telah
berakhir.
Dulu hari-hari yang kami lalui
seperti pelangi. Mulanya semuanya baik-baik saja. Bahkan perterngkaran yang
terjadi justru membuat kami semakin dekat dan tak ingin terpisahkan. Kemudian
semuanya mulai berubah. Aku menjadi lebih mudah cemburu padanya dengan alasan
yang tidak jelas. Contohnya saja ketika ia bertanya tentang seorang sahabatku
yang waktu itu tidak ikut menonton film di bioskop bersama kami berdua dan
sahabat-sahabatku yang lainnya. Sebenarnya aku senang memiliki kekasih yang
mudah berbaur dengan sahabat-sahabatku. Tapi waktu itu aku merasa perhatiannya
padaku teralihkan. Aku tidak suka!
Lambat laun dia menjadi tidak
perduli pada pertengkaran antara kami. Ketika kami bertengkar selalu aku yang
menghubunginya terlebih dahulu. Pernah kami tidak saling berkomunikasi selama
dua minggu lamanya karena tidak ada yang memulai mencari jalan keluar.
Tidak hanya aku, dia juga berubah
menjadi lebih pencemburu. Waktu itu, ketika motornya sedang masuk bengkel aku
pergi menjenguk seorang teman satu kelas yang sedang sakit bersama seorang
laki-laki. Laki-laki itu teman satu kelasku sekaligus temanku sejak kecil. Dia
tahu hal itu. Namun tidak tahu mengapa, dia begitu marah ketika mengetahui hal
tersebut.
Semakin hari dia semakin sering
membuatku menangis. Aku lelah namun aku bertahan dengan alasan konyol ala
remaja yang masih berfikiran labil; “Aku sayang dia. Karena itu aku bertahan.”
Namun semakin hari rasa sakit yang
diberinya semakin menjadi-jadi. Hingga akhirnya aku tiba di titik lelahku. Di
tengah-tengah pertengkaran yang ada aku menghubunginya lewat telepon dan
berkata, “Kamu senang kalau aku pergi?”
Mulanya dia marah dengan
pertanyaanku. Menurutnya aku kekanakan. Namun aku tidak perduli. Aku hanya
butuh jawabannya agar aku tahu harus mengambil keputusan apa. Akhirnya dia
menjawab, “Ya, aku senang.”
Semenjak itu, kami memutuskan untuk
mengakhiri semuanya.
Namun seperti yang telah ku
ceritakan tadi, dia kembali dengan menawarkan obat untuk lukaku. Ku akui selama
kehadirannya kembali dia banyak berkorban untukku. Dia sabar ketika aku
bersikap kasar, berkata ketus, bahkan aku sering membuatnya repot dengan sifat
manja yang ku sengaja. Waktu itu dia pernah demam tinggi selama satu minggu
karena kehujanan ketika menjemputku di kampus pada malam hari usai aku ikut
serta dalam kegiatan organisasi. Padahal rumahku dan rumahnya berlawanan arah
dan jaraknya cukup jauh.
“Penyesalan ini membuatku tersikasa,
Din. Ku mohon beri aku kesempatan.”
Ku lihat matanya berkaca-kaca.
Begitupun dengan aku.
Aku menyeka ujung mataku sambil
berkata, “Alvin, kamu tahu tidak? Sebenarnya kita adalah dua orang yang saling
menyayangi namun takut kembali tersakiti.”
“Kalau begitu akan ku pastikan kamu
tak akan tersakiti,” ucapnya sambil menyembunyikan wajahnya. Mungkin dia malu.
Baru kali ini ku lihat ia hampir menangis di hadapanku.
“Kalau begitu aku juga akan
melakukan hal yang sama.”
Sontak ia mentapku dengan tatapan
berbinar. “Sungguh?”
Aku tersenyum sambil mengangguk.
Tanganku kembali di genggamnya,
“Setiap orang pasti bisa berubah menjadi lebih baik. Kamu percaya itu, kan?” tanyanya.
“Dan setiap orang berhak mendapatkan
kesempatan kedua.” Jeda sejenak, “Kecuali para penghianat,” ucapku.
Kami tertawa bersama.
“Terima kasih, Din. Untuk semuanya.
Dan maafkan aku, Din. Untuk semuanya,” ucapnya.
***
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus