[CERPEN] Perihal Perpisahan (Dimuat di Koran Waspada pada Hari Minggu 3 Desember 2017

Perihal Perpisahan
Cerpen : Feby Farayola


            Perihal perpisahan, sesuatu yang paling menakutkan bukan kehilang. Melainkan rindu. Aku tahu dalam setiap pertemuan pasti ada perpisahan. Namun apa aku sanggup menghadapi perpisahan itu ketika saatnya tiba? Apa aku sanggup menahan gigilnya rindu?
            Aku adalah seorang gadis dingin yang tidak percaya pada sebuah persahabatan. Bukan tanpa alasan aku menjadi seperti ini. Luka yang diberi oleh orang-orang yang pernah mengaku sebagai sahabatku adalah sebabnya. Sahabat macam apa yang tega meninggalkanmu ketika kau terpuruk pada sebuah kegagalan? Sahabat apa macam apa yang melupakanmu begitu saja ketika kau berbuat kesalahan? Tidak pantas sebutan sahabat disematkan pada orang-orang semacam itu!
           Namun, semua pemikiranku tentang sebuah persahabatan berubah ketika aku bertemu mereka. Mereka adalah Fany dan Tania. Sahabatku.   
         “Sahabat tidak akan pernah marah ketika kau melakukan hal yang paling ia benci terhadapnya.”
          “Sahabat tidak akan sakit hati hanya karena lelucon menjengkelkanmu.”
         Kedua kalimat ajaib itu adalah awal mula persahabatan kami. Mulanya aku menganggap mereka sama seperti yang lainnya. Hanya sebatas teman yang akan datang dan pergi kapan saja tanpa ada rasa perduli. Tetapi jika mengingat apa yang telah kami lewati, mereka tidak pantas aku anggap hanya sebatas teman.
            Tania, Fani, kalian sahabatku. Sahabat terbaikku.
            Aku masih ingat betul, waktu itu aku terjatuh dalam lubang duka. Tidak hanya aku tetapi juga ibuku dan adik-adikku. Awan mendung seolah menyelimuti wajah kami setiap hari ketika peristiwa memalukan itu menimpa keluarga kami. Ayahku ketahuan mencuri sepeda motor milik warga kampung sebelah demi melunasi biaya kuliahku.
          Semenjak hari itu semua orang memandang aku dan keluargaku sebagai sampah. Namun, hanya Fany dan Tania yang tetap memandang kami sebagai manusia biasa yang jauh dari kata sempurna. Mereka membantu aku dan keluargaku mencari cara supaya ayahku bebas dari balik jeruji besi. Bahkan mereka sampai harus meminta bantuan kepada kedua orang tua mereka. Syukurnya, ayahku mampu dibebaskan dalam kurun waktu kurang dari satu bulan.
            Tidak sampai di situ, ketika aku kesulitan membayar uang kuliah mereka tak segan mengulurkan tangannya untuk membantuku. Bukan, mereka tidak membantuku membayar uang kuliah dengan cara membiayainya secara langsung. Karena mereka tahu itu akan membuatku merasa berhutang budi. Mereka membantuku mengumpulkan uang untuk membayar biaya kuliah dengan mengamen. Ya, setiap pulang kuliah kami pergi ke lampu merah untuk mengamen. Terkadang kami menumpang satu bus ke bus lainnya demi mengumpulkan pundi-pundi rupiah. Teriknya sinar matahari dan debu adalah makanan kami sehari-hari.
            “Kalian enggak malu mengamen seperti ini?” tanyaku pada Fany dan Tania suatu hari ketika kami sedang beristirahat pada sebuah rumah makan padang.
            “Kenapa harus malu? Ini halal kok,” jawab Fany.
            “Lagipula kami enggak akan membiarkan kamu kesusahan sendirian, Ra,” sahut Tania.
            Ya tuhan, benarkah kedua sahabatku ini manusia biasa sepertiku? Jika iya, mengapa mereka memiliki hati melebihi malaikat?
            Lazimnya sebuah persahabatan, perselisihan adalah bumbu-bumbu yang biasa kami cicipi. Namun hal tersebut tidak membuat persahabatan ini menjadi terasa hambar. Justru sebaliknya.
            Tanpa terasa sudah hampir empat tahun persahabatan yang indah ini kami lalui. Sebentar lagi kami akan mengenakan toga dan menyandang gelar sarjana. Itu berarti, perpisahan sudah menunggu di ujung jalan sana.
            “Apa kalian yakin setelah wisuda akan pulang ke kampung halaman masing-masing?” tanyaku pada Fany dan Tania ketika kami duduk di pendopo fakultas sambil menyantap bakso bakar.
            “Sepertinya begitu,” jawab Fany sambil memandang kosong ke langit malam.
            “Aku juga,” timpal Tania.
            Mataku terasa panas. Rasanya aku ingin menangis. Ya tuhan, aku tidak ingin kehilangan sahabat seperti mereka.
            “Sejauh apapun jarak yang membentang nanti, kita akan tetap menjadi sahabat, Ra.” Tania menepuk bahuku.
            “Kita gak hidup di zaman purba. Pasti selalu ada cara untuk kita menebang rindu ketika suatu saat nanti rindu itu menjelma menjadi pohon beringin yang kokoh.” Fany menimpali.
            “Apapun yang terjadi kita akan tetap bersahabat,” ucapku, Fany, dan Tania sambil saling berangkulan.
            ***
                                    (Dimuat di Koran Waspada pada Hari Minggu 3 Desember 2017)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

[CERPEN] Nostalgia Lebaran (Dimuat di Koran Waspada, Minggu 8 Juli 2018)

[CERPEN ANAK] Terima Kasih Guruku (Dimuat di Rubrik Taman Riang Koran Analisa, Minggu 27 November 2016)

[CERPEN] "Merah Putih di Atas Api" Dimuat di Koran Waspada Minggu, 13 Agustus 2017