[Cerpen] Laskar Lestari (Dimuat di Rubrik Taman Remaja Pelajar Koran Analisa Pada Minggu, 24 Desember 2017)
Laskar
Lestari
Oleh : Feby Farayola
Suara derap langkah kaki
terdengar dari berbagai penjuru. Memecah kesunyian malam. Mengusik ketenangan
hewan-hewan yang menjadi penghuni di tempat itu. Aku memandang ke sekeliling.
Gelapnya malam menyelimuti tubuhku. Cahaya lampu kepala yang sinarnya
remang-remang menjadi satu-satunya penerangan selain bulan purnama dan
bintang-bintang yang bertebaran pada bentangan langit hitam diatas sana.
Aku mulai kelelahan. Nafasku
memburu. Jantungku berdetak dua kali lebih cepat. Keringat membanjiri sekujur
tubuhku. Jalanan menanjak yang penuh dengan bebatuan dan lumpur mulai
menyusutkan semangatku. Aku ingin menyerah. Namun Raka menyulut semangatku
dengan ucapannya.
“Ayo semangat, Dina! Sebentar
lagi kita sampai! Lihat tuh, bintang-bintangnya kelihatan dekat, kan? Itu
tandanya kita sudah semakin dekat dengan puncak.”
Malam itu adalah malam dimana
akhirnya aku mendengar tangismu. Malam itu adalah malam dimana akhirnya aku
mengerti akan kemarahanmu.
***
Matahari datang memeluk pagi. Cahaya
keemasannya menyiram tubuhku yang didera rasa lelah. Namun rasa lelah itu tidak
ada artinya jika dibandingkan dengan tangismu yang terus terngiang di telingaku
selama sehari semalam. Tidak, kau tidak hanya menangis semalaman. Kau menangis sepanjang
hari. Disini, dipuncak tertinggimu aku berdiri. Banyak orang bersuka cita
karena dapat menginjakkan kakiknya disini. Namun tidak denganmu. Kau tidak
menyukai mereka sama seperti kami yang menyukaimu. Aku tahu saat ini kau sedang
menangis. Aku tahu saat ini kau sedang takut. Ya, kau takut pada kami. Karena
kami adalah orang-orang yang merenggut keperawananmu. Kami adalah orang-orang
yang menodaimu dengan tangan-tangan kami sehingga keindahanmu yang dulu tak
lagi ada.
Di setiap bagian tubuhmu kulihat sampah-sampah
bergelimpangan. Padahal seharusnya tubuhmu dipenuhi dengan tumbuhan-tumbuhan
hijau yang indah. Dulu kau adalah sang pujangga. Namun kini kau adalah yang
teraniaya.
“Sedih ya, lihat keadaan sibayak
yang sekarang,” ucap Raka.
Raka adalah salah seorang teman
kuliahku. Kami kuliah di jurusan yang sama dan menempati kelas yang sama pula.
Kami melakukan pendakian ini bersama tiga orang teman kuliah kami yang lain.
Nila, Rey, dan Shandy.
Aku menyahut, “Sejak kapan sibayak
jadi tercemar seperti gini?”
Raka mengedikkan bahu. “Entahlah.
Sejak gak ada lagi yang perduli dengan kelestariannya mungkin,” ucapnya sembari
menyisir rambut ikalnya yang gondrong dengan jari.
Kembali kupandangi sekeliling gunung
sibayak dari atas sini. Tempat ini tidak terlihat seperti layaknya keadaan di
gunung. Melainkan pasar pagi yang penuh dengan sampah-sampah.
“Seandainya setiap pendaki memiliki
kesadaran bahwa alam adalah sesuatu yang harus di jaga, pasti keadaannya nggak
akan kayak gini.” Raka berkata lagi sembari memasukkan kedua tangannya ke dalam
saku jaket. “Lihat tuh, tumpukan sampah di sebelah sana.” Ia menunjuk ke arah dimana
terdapat beberapa kantung plastik berukuran besar yang berisi botol minuman
keras yang berserakan. “Mereka kira tempat ini kompleks perumahan yang setiap
minggunya ada petugas kebersihan dari dinas setempat?”
Aku menoleh menatap Raka. Wajahnya
tampak kesal. Lelaki ini sepertinya sangat mengerti bagaimana perasaanmu,
sibayakku.
“Ngakunya pecinta alam. Tapi buang
sampah masih sembarangan.” Raka tersenyum sinis.
Jika melihat keadaanmu kini,
sepertinya embel-embel “Lestari” hanya omong kosong. Mereka mendatangimu bukan
karena mereka mencintaimu. Namun, mereka hanya ingin menikmati tubuhmu lalu
setelah itu mengotorimu.
Dapat ku dengar saat ini kau tengah
menjerit-jerit memanggil para laskar lestari. Aku tahu kau pasti merindukan
mereka. Sekumpulan orang-orang yang mencintaimu dengan setulus hati. Bukan
hanya sekedar datang lalu pergi dengan meninggalkan kenistaan yang membekas.
“Kelihatannya kamu perduli sekali
dengan keadaan sibayak saat ini,” ucapku pada Raka.
Raka menyambut ucapanku barusan
dengan tatapan tajam. Ia berkata, “Kita tinggal di alam. Tapi kita malah
merusak alam. Itu berarti sama aja dengan kita merusak diri kita sendiri, iya kan?
Kalau alam rusak, dimana kita akan tinggal? Kalau alam marah, apa yang akan terjadi
dengan kita?”
“Sibayak ini bagian dari alam. Kamu
tahu sendiri kalau wisata alam di Sumatera Utara ini sedikit, kan? Coba kamu
bayangkan kalau satu persatu wisata alam di Sumatera Utara ini tercemar dan
nggak bisa dinikmati lagi keindahannya. Meskipun sekarang banyak tempat wisata
yang lebih modern, tapi nggak bisa dipungkiri kita masih butuh tempat wisata
alam yang indah dipandang mata, iya, kan?”
Pernyataan Raka barusan membuatku
terdiam.
Sesakit itukan penderitaanmu,
sibayakku?
“Sinabung bisa marah dengan
memuntahkan laharnya. Tapi sibayak bisa apa? Dia Cuma gunung mati yang hanya
mengharapkan kita untuk menjaga kelestariannya,” ucap Raka lagi.
Percakapan itu berakhir begitu saja.
Menjelang siang kami turun dari atas puncak tertinggi sibayak lalu kembali
menuju tenda.
Sebenarnya tujuan kami
mengunjungi sibayak adalah untuk melepas penat usai ujian akhir semester yang
memusingkan. Raka mengajak kami untuk melihat keindahan gunung tersebut. Namun,
sesampainya disini, sebagian keindahan itu ditutupi oleh sampah-sampah yang
disebabkan oleh para pendaki yang kurang memiliki kesadaran akan kelestarian
gunung sibayak.
Tetapi, selain untuk melepas
penat, tampaknya Raka juga ingin memberikan sebuah pelajaran padaku dan juga
pada teman-teman kami yang ikut mendaki. Yaitu sebuah pelajaran tentang
pentingnya keperdulian akan lingkungan.
Raka adalah salah seorang anggota
mahasiswa pecinta alam di kampus. Dulu aku tidak mengerti sama sekali dengan
dunianya itu. Meskipun kami berteman baik, namun Raka tidak pernah menceritakan
sedikitpun tentang dunianya itu padaku dan pada yang lainnya. Dulu aku berfikir
bahwa dunianya itu adalah sebuah dunia yang abstrak. Tidak jelas. Namun kini,
setelah aku memutuskan untuk mengintip sedikit kedalam dunia itu, aku baru
mengerti bahwa dunia para pecinta alam bukanlah hanya sekedar dunia yang
dipenuhi dengan orang-orang berpenampilan acak-acakan dan juga lelaki berambut
gondorng. Mereka adalah laskar yang akan meredakan tangisan alam akibat
pencemaran. Mereka adalah orang-orang yang perduli pada hal-hal yang diabaikan
oleh kebanyakan orang.
Usai sarapan dengan mie instan sembari
berbincang-bincang sejenak kami memutuskan untuk segera turun. Raka, Rey, dan
Shandy melipat tenda sedangkan aku dan Nila membereskan peralatan memasak dan
mengemas sampah kedalam kantong plastik. Kami akan meletakkan kantong plastik
tersebut pada tempatnya setibanya dibawah nanti.
Setelah semuanya beres, kami bersiap
untuk segera turun dari atas gunung sibayak. Tak lupa kami berdoa terlebih
dahulu agar sesuatu yang tidak diinginkan tidak menimpa kami.
Sibayakku, jangan bersedih lagi.
Jumlah kami, para tentara lestari, memang tak sebanyak burung camar di pantai
saat senja membentang. Namun kesetiaan kami padamu dan juga pada alam ini jauh melebihi
kesetiaan hujan pada awan mendung yang membuatnya ada.
Sibayakku, jangan lagi sunggingkan
senyum fatamorgana. Perlahan, kejayaanmu yang dulu pasti kembali.
***
(Dimuat di Rubrik Taman Remaja Pelajar Koran Analisa Pada Minggu, 24 Desember 2017)
Komentar
Posting Komentar