[CERPEN] Jendela (Dimuat di Koran Wasapada, Minggu 23 September 2018)
Koran Waspada Versi Cetak Edisi Minggu, 23 September 2018 |
Jendela
Cerpen
: Feby Farayola
“Kenapa kakek suka melihat keadaan
di luar sana melalui jendela?” tanyaku pada seorang laki-laki tua yang sedang
sibuk membersihkan debu yang menempel pada buku-buku di perpustakaan sederhana
ini.
“Karena hal tersebut menyenangkan,”
jawab laki-laki tua itu sekenanya.
“Bukannya lebih menyenangkan kalau kita
melihat keadaan di luar sana melalui pintu? Karena menurutku, pintu nggak
memberikan sekat untuk menghalangi apa yang ingin kita lihat, dan juga
mengetahui apa yang ingin kita ketahui,” sahutku panjang lebar.
Laki-laki tua itu terkekeh demi
memunculkan gurat-gurat keramahan di wajahnya untuk menutupi kemurungan yang
tiba-tiba saja datang. Tentu saja aku tahu kemurungan itu tiba-tiba datang.
Sebab, hampir setiap hari aku mengunjungi perpustakaan yang terletak di ujung
desa tempat aku tinggal ini dan menghabiskan waktu dengan berbincang bersama
laki-laki tua tersebut yang telah lama menjadi penjaga sekaligus pemilik perpustakaan
ini.
Menurut cerita warga setempat, laki-laki
tua itu adalah sosok kebijaksaan hidup dalam wujud seorang laki-laki yang kini
usianya telah renta dimakan usia. Dan dia juga sosok seorang kakek tua yang
menyenangkan. Tidak hanya aku, anak-anak lain di kampung ini pun banyak yang
mengunjungi perpustakaan ini hanya untuk mendengar petuah-petuah bijaksana
darinya. Namun aku berbeda dengan anak-anak itu. Diriku yang dapat dikatakan
adalah seorang remaja tanggung, perlahan mulai menyadari bahwa sesungguhnya
laki-laki tua itu adalah penyimpan rahasia ulung.
Beberapa hari yang lalu, tanpa
sengaja aku menemukan sebuah buku usang berjudul jendela di perpustakaan ini.
Ternyata itu adalah sebuah buku diary yang entah dimiliki oleh siapa. Didorong
oleh rasa penasaran, aku membawanya ke rumah secara diam-diam dan membaca
keseluruhan isinya. Ternyata buku tersebut milik laki-laki tua itu.
Kalimat-kalimat yang tersusun di buku tersebut sangat puitis. Saking puitisnya,
ada beberapa bagian yang tidak aku mengerti maknanya. Tetapi anehnya,
bagian-bagian yang tidak aku mengerti itu mampu mengundang kesedihan saat aku
membacanya. Dan kalimat-kalimat puitis itu bercerita hanya mengenai satu hal.
Yaitu, jendela.
Seingatku, laki-laki tua penjaga
perpustakaan tersebut selalu duduk pada sebuah kursi kayu di bawah salah satu
jendela yang ada di perpustakaan menjelang senja sembari melihat para
pengunjung yang kebanyakan anak-anak dan remaja tanggung sepertiku beranjak
pulang. Seulas senyuman tak pernah alpa dari bibirnya. Tetapi kelamaan aku
menyadari bahwa senyuman itu adalah jelmaan dari rasa sepi.
Setahuku, laki-laki tua itu memang
tinggal seorang diri di sebuah rumah kecil yang letaknya bersebelahan dengan
perpustakaan ini. Warga kampungku tiada yang tahu mengenai asal-usul dan
keberadaan keluarga laki-laki tua itu. Mereka hanya mengetahui bahwa
berpuluh-puluh tahun yang lalu laki-laki tua itu datang seorang diri dan
memohon kepada warga desa agar membantunya mendirikan sebuah perpustakaan dan sebuah
rumah kecil yang kini ditempatinya.
“Hari sudah semakin malam, gadis kecil.
Lebih baik kamu segera pulang.”
Ah, aku paling jengkel ketika ia
memanggilku gadis kecil. Padahal kini aku bukan anak kecil lagi. Laki-laki tua
itu terkekeh melihat wajah cemberutku.
“Ada apa dengan jendela kek?”
Tiba-tiba wajah laki-laki tua itu
berubah. Semacam kesedihan muncul pada raut wajahnya.
“Maaf karena telah membacanya tanpa
izin. Tapi aku benar-benar ingin tahu apa maksud kalimat-kalimat di buku ini,”
ucapku sambil mengembalikan buku usang berjudul jendela yang beberapa waktu
lalu aku bawa pulang diam-diam.
Laki-laki tua itu menerimanya dan
memandangi buku itu dengan wajah penuh haru. Melihatnya yang selalu memasang
wajah riang, rasanya agak aneh.
“Gadis kecil, kelak kamu akan tahu
bahwa ada suatu kekuatan yang lebih dahsyat dari bom nuklir. Ada sesuatu yang lebih sendu dari mengenang
masa lalu ketika hujan. Ada yang lebih indah dari senja di Alexandria, dan ada
sesuatu yang ternyata melebihi dari sesuatu yang selama ini kau anggap hebat.”
“Apa itu kek?”
Laki-laki tua itu tersenyum sambil
membuka halaman pertama buku tersebut.
***
Dulu, ketika uban belum tumbuh di
kepalanya, laki-laki tua itu adalah seorang penyair yang diagung-agungkan. Puisi-puisinya
yang bercerita mengenai cinta, kehidupan, tuhan, dan lain sebagainya selalu
mendapat tempat di hati masyarakat. Namun anehnya, penyair maha romantis seperti
dirinya tidak pernah jatuh cinta. Semenjak ayahnya pergi meninggalkan dirinya dan
ibunya dengan membawa semua harta benda mereka bersama seorang wanita muda,
baginya cinta hanyalah sebuah nafsu. Tidak lebih dari itu.
Namun suatu hari ketika roda
kehidupan membawanya beputar ke bawah, semesta mempertemukannya dengan seorang
gadis di balik jendela saat dirinya sedang berteduh dalam kondisi kelaparan.
Persediaan makanan di rumahnya habis, ibunya sedang jatuh sakit, dan mereka
tidak memiliki uang. Kebetulan, laki-laki itu berteduh di depan rumah gadis
tersebut. Dan posisinya tepat berada di bawah jendela kamar sang gadis. Mulanya
gadis itu hanya datang membawa makanan untuknya. Tetapi seiring waktu berjalan,
gadis itu datang membawa semangat, harapan, dan mimpi dalam hidupnya. Setiap
malam laki-laki itu selalu menulis surat berisi kata-kata puitis untuk
diberikan pada gadis tersebut melalui jendela kamarnya pada keeskokan harinya.
“Mengapa kamu tidak pernah keluar
dan menemuiku?” tanya laki-laki itu suatu hari pada sang gadis yang diam-diam
membuatnya jatuh hati.
“Sepertinya melihatku dari jendela
lebih baik untukmu. Sebab jendela memberi batasan agar kamu tidak melihat apa
yang seharusnya tidak kamu lihat,” jawab gadis itu.
Laki-laki itu tidak paham apa maksud
yang diucapkan gadis tersebut. Ia pun tidak ingin memaksanya. Namun dirinya
tidak ingin hanya sekedar saling bertatapan melalui jendela dengan gadis itu. Maka,
suatu hari ia memberanikan diri untuk datang ke rumah gadis itu dan memintanya
baik-baik pada kedua orang tuanya untuk dijadikan istri. Namun, sebuah
kenyataan pahit menamparnya. Bahwasanya gadis itu ternyata telah bersuami dan
selama ini ia bernasib sama seperti ibunya. Bahkan gadis itu telah kehilangan
kedua kakinya entah karena alasan apa. Belakangan laki-laki itu baru mengetahui
bahwa gadis itu menikah bukan atas nama cinta. Dan ketika laki-laki itu ingin
membawanya menuju bahagia, maut terlebih dahulu menjemput gadis tersebut. Tiada
yang tertinggal dari gadis itu selain kenangan dan buku-buku yang pernah
dipinjamkannya pada laki-laki itu yang jumlahnya tiada terkira.
***
Laki-laki tua itu menutup lembar
terakhir buku berjudul jendela itu sambil menyeka air matanya.
“Pulanglah gadis kecil. Persiapkan
dirimu untuk kisah sedihmu sendiri,” ucap laki-laki tua itu.
Aku pamit sambil menepuk bahunya dan
berkata, “Semua warga di desa ini keluargamu kek. Mungkin gadis di balik jendela
itu sudah tiada. Tetapi kami masih di sini.”
Laki-laki tua itu mengangguk sambil
tersenyum. Beberapa tahun kemudian aku baru memahami bahwa setiap orang
memiliki kisah sedihnya masing-masing. Termasuk aku. Ada yang memilih
memendamnya dalam-dalam dan ada yang memilih membaginya pada banyak orang. Dan bagiku,
sepertinya memandam lebih baik. Sebab seseorang yang mau mendengarkan belum
tentu mau mengerti.
***
Komentar
Posting Komentar