[CERPEN] Kamajaya Dan Kamaratih (Dimuat di Koran Jurnal Asia, Sabtu 27 Oktober 2018)



Kamajaya dan Kamaratih
Oleh : Feby Farayola
            


            Hari silih berganti. Namun pikiran pria paruh baya itu masih jalan di tempat pada masa lalu. Ia hidup dalam kehampaan semenjak tamu tidak tahu malu yang bernama kehilangan itu mengunjunginya. Saban hari dihabiskannya dengan membersihkan debu yang menempel pada wayang kulit tokoh Kamajaya dan Kamaratih yang menjadi pajangan di dinding kamarnya. Kedua wayang kulit tersebut sangat bernilai baginya. Sebab kedua benda tersebut menyimpan kenangan yang sangat berharga bersama istrinya yang kini telah dijemput maut ketika melahirkan buah cinta mereka.
            Istrinya adalah perempuan berparas ayu dengan sikap rendah hati. Pertemuan mereka terjadi ketika diadakannya sebuah pegelaran wayang kulit. Saat itu, pria paruh baya tersebut berperan sebagai dalang sedangkan istrinya adalah sinden bersuara merdu. Paras ayu ditambah suara yang merdu menyihir pria itu hingga sulit baginya untuk berpaling.
            “Namaku Ratih,” ucap gadis sinden tersebut ketika pria itu menghampiri dan menanyakan namanya saat pegelaran telah usai. “Namamu?”
            “Namaku Jaya.”
            “Wah tiba-tiba aku jadi ingat kisah Kamajaya dan Kamaratih.” Gadis bernama Ratih itu tertawa kecil.
            Semenjak malam itu, Jaya tidak bisa melupakan sosok Ratih. Wajahnya, senyumnya, terus terngiang dalam pikiran. Diam-diam pula ia mencintainya. Untungnya kampung tempat mereka tinggal bersebelahan. Sehingga tidak sulit bagi keduanya untuk kembali merajut pertemuan.
            Ternyata perasaan Jaya berbalas. Akhirnya pernikahan mereka dilangsungkan dengan adat jawa. Mulanya kehidupan rumah tangga mereka berjalan dengan penuh kebahagiaan. Apalagi ditambah dengan tumbuhnya benih cinta mereka dalam rahim Ratih. Namun, kabar duka itu datang begitu saja. Ratih keguguran dan dokter menyatakan akan sulit bagi Ratih untuk hamil kembali sebab kondisi rahimnya lemah.
            Kebahagiaan yang mereka rasakan berbalik menjadi kesedihan. Sepanjang hari Ratih murung dan merasa dirinya tidak berguna sebagai perempuan. Apalagi ditambah dengan desakan dari pihak keluarga Jaya yang sangat mendambakan cucu dari Jaya dan Ratih.
            Suatu hari Ratih jatuh sakit. Semakin hari sakitnya bertambah parah. Hal itu membuat Jaya dijejali keresahan. Dirinya takut pada sesuatu yang bernama kehilangan.
            “Kamu tahu tentang kisah Kamajaya dan Kamaratih?” tanya Ratih suatu malam ketika Jaya menemaninya yang sedang terbaring lemah pada salah satu bangsal rumah sakit.
            “Tahu. Tapi aku mau kamu menceritakannya kembali untukku.”
            “Baiklah,” ucap Ratih sambil tersenyum. “Waktu itu pasukan besar dari bangsa raksasa yang dipimpin Prabu Nilarudraka berniat berkunjung ke istana taman langit. Mereka datang dengan tujuan hendak meminang salah satu bidadari khayangan.”
            “Mana ada bidadari yang mau sama raksasa,” Jaya menyela cerita ratih. Keduanya tertawa kecil.
            “Para Dewata dijejali kepanikan. Terlebih mereka mengetahui bahwa yang bisa mengalahkan raja bangsa raksasa hanyalah Bethara Guru. Padahal, Bethara Guru sedang melakukan tapa brata.” Ratih lanjut bercerita.
            “Wah pasti penduduk khayangan resah sekali,” ucap Jaya.
            “Memang. Tapi mereka berhasil menemukan jalan keluar. Mereka berpikir bahwa Bethara guru harus mengakhiri tapa brata. Caranya yaitu dengan mengingatkan dia kepada cintanya, Bethari Durga. Karena ia pasti sedang menahan kerinduan yang dalam pada istrinya yang sedang mengandung.” Wajah Ratih berubah murung.
            Jaya paham betul, istrinya itu pasti sedih ketika membicarakan mengenai mengandung.
            “Lalu bagaimana kelanjutan ceritanya?” Jaya mencoba mengalihkan perhatian Ratih. Dan ia berhasil meski kemurungan di wajah Ratih tidak sepenuhnya hilang.
            “Para dewata yang sedang berkumpul sepakat bahwa Bethara guru harus dibangunkan dengan pengingat kerinduan. Pengingat kerinduan yang dimaksud adalah Jemparing Panca Wisaya. Dan yang terpilih untuk datang ke pertapaan Bethara Guru dan membangunkannya dengan Jemparing Panca Wisaya adalah seorang dewa muda bernama Bethara Kamajaya yang baru saja melangsungkan pernikahan dengan Dewi Kamaratih.”
            “Dewi Kamaratih pasti resah sekali atas kepergian suaminya,” Jaya berkomentar.
            “Tentu.”
            “Lalu apakah Kamajaya berhasil pulang dengan selamat?” Jaya pura-pura tidak tahu. Padahal ia tahu persis bagaimana akhir kisah tersebut. Ia hanya ingin melihat istrinya kembali bersemangat. Sebab ia tahu, salah satu hal yang dapat membuat semangat istrinya itu kembali muncul adalah dengan bercerita mengenai kisah-kisah tokoh di dunia perwayangan.
            “Sayangnya tidak. Ketika pusaka tersebut melesat ke tempat Bethara Guru bertapa, dalam penciumannya aroma harum tubuh istrinya tercium. Namun ketika Bethara Guru membuka mata dan menyadari yang datang bukanlah istrinya melainkan Bethara Kamajaya, kemurkaannya pecah.”
            “Apakah terjadi perkelahian sengit di antara mereka?”
            “Tidak. Tetapi meski tidak terjadi perkelahian sengit Kamajaya tetap kehilangan nyawanya. Sebab Bethara Guru menatapnya dengan mata ketiga yang ada di dahinya. Mata itu merah menyala kerena menahan amarah. Dan seketika Bethara Kamajaya terbakar.”
            “Lalu bagaimana nasib Dewi Kamaratih?”
            “Dewi Kamaratih ikut terbakar. Sebab sejak keberangkatan suaminya ia sudah berfirasat buruk sehingga memutuskan untuk mengikuti diam-diam. Melihat suaminya terbakar, ia menceburkan diri ke kobaran api yang membunuh suaminya dan bersatulah mereka di alam keabadian.”
            “Jadi mereka meninggal karena kesalah pahaman?”
            “Entahlah. Tapi ketika beberapa dewa menghadap ke Bethara guru dan menjelaskan apa yang terjadi, mereka meminta Bethara Guru untuk menghidupkan kembali pasangan suami istri itu.”
            “Lalu apa Kamajaya dan Kamaratih hidup kembali?”
            “Ya, tetapi tidak di dunia khayangan. Melainkan di dunia fana. Mereka hidup kembali di hati para suami dan istri. Cinta dan kasih sayang mereka akan abadi di sana, selama pasangan suami istri itu bisa menempatkan diri dalam bhaktinya masing-masing. Begitulah sabda Bethara Guru.” Ratih mengakhiri ceritanya.
            “Kamajaya dalam diriku pasti senang sekali kalau kamu segera sembuh, Ratih.” Jaya memandangi wajah istrinya yang pucat itu.
            Ratih membalas dengan senyuman. “Pasti, aku pasti sembuh.”
            ***
            Suatu ketika doa-doa Jaya terkabul. Setelah sekian lama berbaring di ranjang rumah sakit, akhirnya Ratih sembuh. Ada satu lagi kabar suka cita yang datang pada sepasang suami istri itu. Ratih hamil. Karena kondisi rahimnya yang lemah dokter menyarankan Ratih agar ekstra hati-hati menjaga kandungannya. Dan perempuan itu berhasil menjaga kandungannya baik-baik hingga tiba waktunya sang buah hati membuka mata di dunia fana.
            Tanpa disangka kabar suka cita itu datang bersama kabar duka. Saat proses persalinan, Ratih mengalami pendaharan dan kehilangan banyak darah hingga nyawanya tidak terselamatkan. Jaya sangat terpukul atas apa yang telah terjadi. Bahkan ia sempat ingin mengakhiri hidupnya. Namun orang-orang terdekatnya selalu mengingatkannya pada titah terakhir Ratih.
            “Jaga Arjuna!” Arjuna adalah nama yang diberikan Ratih untuk anak laki-laki mereka.
            Meski Jaya merasakan ruang kosong yang sangat mengganggu ketika Ratih pergi, namun Arjuna ada untuk memberi sedikit kekuatan untuknya. Sehingga ia dapat bertahan hingga kini. Wayang kulit Kamajaya dan Kamartih itu adalah hadiah pemberian Ratih ketika usia pernikahan mereka menginjak dua tahun.
            “Sudah selesai membersihkan wayangnya pak? Kalau sudah bapak siap-siap ya. Hari ini kan kita mau ziarah ke makan ibu.” Arjuna membuyarkan kenangan bersama Ratih dalam pikiran Jaya bagai kaset lama yang tiba-tiba berhenti berputar.
            “Tunggu sebentar. Bapak siaps-siap dulu.”
            Kini Arjuna telah matang dari masa belia. Jaya berharap kelak anaknya itu tidak akan merasakan sakitnya kehilangan pasangan hidup secepat dirinya dulu.
            ***
                                   
             

Komentar

Postingan populer dari blog ini

[CERPEN] Nostalgia Lebaran (Dimuat di Koran Waspada, Minggu 8 Juli 2018)

[CERPEN ANAK] Terima Kasih Guruku (Dimuat di Rubrik Taman Riang Koran Analisa, Minggu 27 November 2016)

[CERPEN] "Merah Putih di Atas Api" Dimuat di Koran Waspada Minggu, 13 Agustus 2017