[CERPEN] Sujud Ketujuh (Dimuat di Koran Waspada, Minggu 14 April 2019)
E paper koran waspada, Minggu 14 April 2019 |
Sujud
Ketujuh
Cerpen
: Feby Farayola
Waktu
itu adalah sujud pertamanya di sepertiga malam.
Ada
sesuatu yang menggerakkan hatinya untuk melakukan sujud tersebut setelah
dirinya kehilangan segalanya. Malam
itu dirinya baru saja pulang dari sebuah night
club. Pakaian minim dan keadaan jalan yang sepi mengundang syahwat seorang
supir taksi yang akan mengantarnya pulang. Sayangnya, gadis itu tidak tiba di
rumahnya dengan selamat. Melainkan dengan sesal yang amat sangat. Dengan langkah gontai
ia berjalan tanpa arah. Tanpa sadar, langkahnya terhenti di depan sebuah
mesjid.
“Tidak
ada tempat mengadu yang paling teduh selain kepada allah subhanahu wata’ala.”
Kalimat
tersebut terngiang di dalam kepalanya. Kalimat yang pernah diucapkan oleh
laki-laki terbaik dalam hidupnya dahulu
sebelum laki-laki itu berpulang pada keabadian. Tetapi, sepertinya tidak ada
guru yang paling bijak mengajarkan arti kebersamaan kepada seseorang selain
kehilangan. Sebab ketika laki-laki terbaik itu masih berada di sampingnya,
dirinya justru berharap laki-laki terbaik itu segera enyah dari hidupnya
selama-lamanya.
“Ayah
aku rindu,” bisiknya lirih.
Ia
melangkah mendekat menuju mesjid tersebut lalu masuk ke dalamnya. Tidak ada
siapa-siapa di sana selain dirinya. Bergegas ia mengambil wudhu lalu mengenakan
mukenah yang tersedia kemudian larut dalam sujud pertamanya.
***
Waktu
itu adalah sujud keduanya di sepertiga malam.
Setelah
sujud pertama berlalu, ia bertekad untuk berubah. Ia tidak ingin lagi
berlama-lama hidup dalam kegelapan. Dirinya sadar bahwa selama ini hidupnya
begitu jauh dari sang maha pencipta. Maka langkah awal yang diambilnya untuk
terbebas dari kegelapan itu adalah dengan mendekatkan diri kepada sang maha
pencipta dalam lima waktu yang diwajibkan.
“Itu
Rani, kan?”
Bisik-bisik
tetangga memenuhi gendang telinganya.
“Rani?
Pergi ke mesjid? Tidak salah?”
Ia
mencoba untuk tidak memperdulikan bisik-bisik tersebut.
“Jangan-jangan
hanya pencitraan.”
Namun
semakin lama bisik-bisik itu terasa semakin menyayat hati. Maka, di sujud kedua
pada sepertiga malam hari ini dirinya menumpahkan segala isi hatinya kepada
sang maha pencipta bahwa dirinya sungguh ingin berubah.
***
Waktu
itu adalah hari menjelang sujud ketiganya di sepertiga malam.
“Kenapa
wajahmu pucat sekali, Ran? Sudah makan?” tanya seorang ibu pemilik warung nasi
ketika ia melintas di depan warung tersebut. “Mau ibu buatkan satu porsi nasi
uduk?”
Desa
di pinggir kota tempat dirinya tinggal sebenarnya memiliki lingkungan yang
nyaman untuk ditinggali. Hanya saja mulut-mulut yang suka mencaci tanpa intropeksi menciptakan
ketenggangan sosial yang
mengganggu.
“Saya
sedang berpuasa bu,” jawabnya sambil tersenyum tipis.
“Laki-laki
kemarin malam belum memberimu uang ya makanya kamu sampai harus berpuasa?”
celetuk seorang wanita bertubuh gempal.
Andai
saja dirinya tidak mengingat niatnya untuk berubah, pasti mulut wanita bertubuh
gempal itu sudah dilumurinya oleh tanah. Hanya saja… ah sudahlah. Tidak ada
gunanya menjelaskan mengenai dirimu kepada orang yang membencimu, fikirnya.
Malam
itu dirinya kembali mengadu dalam sujud ketiga sambil bersimba air mata.
***
Kali
ini adalah sujud keempatnya di sepertiga malam.
Hujan
tak kunjung reda di matanya. Terlebih ketika ia mengingat apa yang terjadi
siang tadi. Ketika seorang wanita paruh baya menghardiknya sebab ia memberi
uang kepada anak dari wanita tersebut untuk membeli boneka beruang yang sangat
lucu. Tanpa sengaja perdebatan antara ibu dan anak yang terjadi di depan sebuah
toko boneka itu diketahuinya. Sebab ia baru saja membeli beberapa keperluan di
mini market yang bersebelahan dengan toko boneka tersebut. Sang ibu tidak
memiliki cukup uang sedangkan sang anak merengek minta dibelikan boneka beruang.
Sebenarnya niatnya baik. Ia hanya ingin membantu. Lagipula ternyata ibu dan
anak itu adalah tetangganya. Namun, niat baiknya bersambut dengan caci maki
yang menyakitkan.
“Jangan
mau menerima uang dari dia! Kita tidak tahu uang itu berasal dari cara yang
benar atau salah,” ucap wanita paruh baya itu sambil bergegas angkat kaki dari
hadapannya.
Sembari
larut dalam sujud keempat ia menikmati rindu untuk sang ibu yang juga telah
berpulang. Selain ayah dan ibunya, dirinya tidak mempunya siapa-siapa lagi.
Semula ia berfikir harta berlimpah yang ditinggalkan oleh kedua orang tuanya
cukup untuk mengekalkan bahagia. Namun ternyata dirinya salah.
***
Waktu
itu adalah sujud kelimanya di sepertiga malam.
Ada
sebuah perasaan yang menyenangkan kala itu. Sebuah perasaan yang lahir setiap
ia mengingat laki-laki yang memberikan sendalnya untuknya ketika sandal
miliknya entah ke mana ketika usai melaksanakan sholat magrib berjamaah di
mesjid tadi. Dalam hening malam, dirinya berharap, bolehkan jika nama laki-laki
itu saja yang mendampingi namanya di lauhul mahfudz sana?
***
Ada
yang berbeda di sujud keenamnya. Kali ini dirinya datang ke hadapan sang maha
pencipta dengan luka yang begitu parah di hatinya. Juga air mata yang seperti
tak kenal alpa.
Apakah
seseorang dengan masa lalu yang kelam tidak berhak mendapatkan ruang untuk berubah?
Sepertinya tidak juga. Tetapi mengapa perlakuan mereka justru sebaliknya?
Masih
terngiang dengan jelas dalam fikirannya ucapan ibu dari laki-laki itu.
Laki-laki yang waktu itu memberikan sendalnya dengan sukarela padanya. Yang
diam-diam memperhatikannya, ingin mengetahui lebih banyak hal tentangnya,
bahkan jatuh hati padanya.
Salah
satu hal yang paling membahagiakan adalah ketika perasaan cintamu bersambut,
bukankah begitu? Sekiranya begitulah yang dialaminya dan laki-laki itu. Namun
semuanya pupus ketika ibu dari laki-laki itu berkata, “Apa yang kamu harapkan
dari perempuan ini, anakku? Masa lalunya buruk. Masa sekarang dan masa depannya
tidak jelas. Carilah perempuan yang lebih baik dari dia.”
“Tetapi
Rani sudah berusaha untuk berubah menjadi lebih baik, bu.”
Kepalanya
terasa berat kala mengingat dialog-dialog itu. Seberat itukah hidup ini untuk
orang-orang yang memiliki masa lalu yang buruk?
***
Sujud
ketujuh.
Tanpa
air mata, tanpa luka, dan tanpa pengaduan apa-apa. Hanya ada satu permohonan
yang ia pinta. Dalam heningnya malam yang semakin matang ia mengangkat kedua
tangannya dan lirih berkata, “Sungguh aku ingin meninggalkan masa laluku yang
kelam. Jika tidak ada ruang bagiku di bumi untuk itu, sediakan tempat untukku di langit, ya
Allah.”
Usai
mengucapkan sebait doa tersebut, ia bertasbih menyenandungkan nama sang maha
pencipta dengan begitu fasih.
Keesokan
paginya mesjid itu ramai oleh hiruk pikuk warga setempat sebab telah didapati
jasad seorang gadis yang masih mengenakan mukenah terbujur kaku dalam posisi
bersujud.
***
Komentar
Posting Komentar