[CERPEN] Susuk (Dimuat di Koran Waspada, Minggu 13 Oktober 2019)

Koran Waspada Versi Cetak Edisi Minggu 13 Oktober 2019











Susuk
Cerpen : Feby Farayola

           
           
            Dirinya adalah bunga desa di kampung itu. Namun para kumbang seolah enggan mendekat. Hingga di usianya yang hampir menjelang kepala empat, dirinya masih merindu sang pelengkap kalbu. Hal tersebut menjadi buah bibir paling manis bagi warga sekitar. Sebagian mereka mengira bahwa dirinya terlalu pemilih, sebagian lagi mengira bahwa dirinya mendapat kutukan karena terlalu banyak hati yang patah akibat ulahnya.
            “Sebenarnya seseorang seperti apa yang kamu tunggu, Mar? Dan mau sampai kapan kamu menunggu? Ibu dan ayah sudah ingin menggendong cucu.”
            Desakan-desakan dari orang-orang terdekat terus menjejali perempuan yang bernama Marni itu. Tanpa didesak seperti itu pun sebenarnya Marni ingin sekali mengarungi bahtera rumah tangan dengan seorang laki-laki hingga rambutnya memutih dan nafasnya berhenti. Namun apalah daya, sosok yang ditunggu hingga kini masih berada di antah berantah.
            Dulu, sebenarnya banyak laki-laki yang datang untuk meminangnya. Namun mereka harus pulang dengan menelan penolakan yang rasanya amat pahit. Lambat laun, tiada seorangpun yang mengajaknya mengikat janji suci.
            Penolakan-penolakan yang diberikannya selama ini sebenarnya bukan karena Marni terlalu pemilih. Dirinya tidak menginginkan laki-laki yang tampan, karena keindahan raga bersifat fana. Begitupun dengan materi yang berlimpah. Sebab ketika telah berpulang nanti hanya amal ibadah yang menjadi bekal. Yang dinanti Marni adalah seorang laki-laki yang mampu membahagiakannya di dunia dan akhirat.
            Kehidupan di akhirat adalah kehidupan yang abadi. Maka, Marni ingin hidup bahagia di kehidupan abadinya nanti. Pokok permasalahannya yaitu, laki-laki yang selama ini datang melamarnya adalah seseorang dengan perangai yang buruk.
            Adalah Raka. Pemilik kebun karet yang luasnya ratusan hektar namun suka berjudi. Ada pula Rudi. Seorang direktur di sebuah perusahaan besar namun abai perihal kewajibannya sebagai seorang hamba. Dan masih banyak lagi laki-laki yang tak mampu membuka pintu hati Marni.
            ***
            Hari itu ketika Marni pergi berbelanja ke pasar, dirinya bertemu Minah. Teman masa kecilnya. Keduanya memutuskan untuk singgah di suatu kedai kopi sambil berbincang.  Penampilan Mirna sekarang sungguh berbeda dibandingkan dulu. Dulu dirinya begitu akrab dengan jeans ketat dan pakaian yang terbuka. Kini, gamis longgar serta kerudung panjang yang menjulur hingga menutupi sebagaian tubuhnya menjadi pakaian yang dikenakannya sehari-hari.
            “Kamu sudah menikah, Min?” Marni memulai pembicaraan saat seorang pelayan menagntarkan pesanan.
            “Sudah. Bahkan aku sudah punya dua anak. Kamu sendiri?”
            Marni menggeleng sambil menghembuskan nafas berat.
            “Tidak kah ada laki-laki yang datang melamar mu, Mar?” tanya Minah.
            Marni menyeruput segelas cappuccino hangat pesanannya kemudian menjawab, “Dulu begitu banyak. Sekarang berbeda.” ia kembali menyeruput segelas cappuccino tersebut dengan perasaan yang semakin tak menentu.
            Seolah mengerti dengan permasalahan yang dialami Marni, Minah bertanya, “Siapa yang membuatmu menutup hati seperti ini?”
            Dengan tegas Marni menjawab, “Masalahnya bukan itu.” Marni menjeda ucapannya. “Aku hanya belum bertemu dengan sosok yang tepat,” lanjutnya sambil menghembuskan nafas panjang.
            “Oh, begitu.” Minah berfikir sejenak, lalu berkata, “Aku punya kenalan. Namanya mbok Dini. Mungkin beliau bisa membantu mengatasi masalahmu.”
            “Siapa dia Min?” tanya Marni heran.
            “Besok kita datang ke rumahnya. Aku yakin pasti beliau bisa membantumu.”
            ***
            Sesuai kesepakatan, keesokan harinya Minah benar-benar membawa Marni ke rumah mbok Dini. Mereka disambut dengan hangat oleh mbok Dini. Penampilan mbok Dini serupa dengan penampilan Minah. Gamis longgar dan kerudung panjang yang menjulur hingga menutupi sebagian tubuh melekat pada tubuhnya. Dilihat dari garis wajahnya sepertinya mbok Dini berumur sekitar akhir 60-an. Namun, fisiknya masih terlihat bugar dan wajah teduhnya tak usang dimakan usia.
            “Jadi, apa yang bisa saya bantu, nduk?” tanya mbok Dini.
            Marni pun menceritakan segala permasalahan yang dihadapinya secara panjang lebar.
            Usai mendengar cerita Marni, mbok Dini tersenyum sembari berkata, “Minum dulu teh manisnya, nduk.”
            Marni menurutinya.
            Mbok Dini berkata lagi, “Besok ganti jeans dan pakaian ketat yang kamu kenakan dengan gamis longgar ya nduk. Jangan lupa pakai kerudung yang menutupi dada. Dan alangkah lebih baiknya kalau kamu sering mengikuti pengajian-pengajian yang ada di mesjid setiap hari sabtu dan minggu.”
            Percakapan antara ketiga perempuan itu berlanjut. Mereka membahas mengenai pernikahan.
            Satu tanda tanya besar muncul dalam kepala Marni. Apa maksud dari perintah mbok Dini barusan? Namun tanda tanya itu tak bertemu dengan jawaban hingga dirinya undur diri dari rumah Mbok Dini. Di perjalanan pulang, Marni menanyakan hal tersebut pada Minah. Namun jawaban Minah sungguh mengejutkan.
            “Tadi mbok Dini memberimu susuk lewat teh yang kamu minum. Kalau kamu mau terbebas dari efek negatif susuk itu, turuti perintahnya.”
            “Gila kamu Min! Ini namanya kamu menjerumuskan aku!”
            Marni berang. Namun emosinya seketika berganti dengan rasa penasaran ketika Minah berkata, “Kamu lihat aku? Memangnya aku sesat? Pokoknya turuti saja perintah mbok Dini.”
            Benar juga. Marni tidak melihat cerminan diri seseorang yang sesat dalam diri Minah. Dengan tanda tanya yang semakin membesar, Marni mencoba menuruti anjuran mbok Dini.
            ***
            Kini tidak ada lagi Marni si kembang desa yang suka memamerkan tubuhnya. Yang ada hanya Marni si kembang desa dengan penampilan yang amat anggun dengan gamis longgar dan jilbab  panjang yang menutupi dada. Kini tiada lagi Marni yang suka keluyuran hingga larut malam dengan ambisi ingin mendapat suami yang sholeh. Yang ada hanya Marni yang rutin mengikuti pengajian di mesjid dan kegiatan positif lainnya.
            Suatu ketika penantiannya selama ini menemukan titiknya. Seorang laki-laki sholeh yang biasa dilihatnya di mesjid ketika pengajian datang untuk melamarnya. Dengan segenap hati Marni menerima lamaran itu. Tiada yang berduka mendengar kabar bahagia tersebut termasuk mbok Dini.
            Sebenarnya, Mbok Dini tidak memberikan susuk apa pun pada Marni. Hal tersebut hanya salah satu muslihat supaya Marni memperbaiki dirinya agar menjadi lebih baik dari sebelumnya. Karena perempuan yang baik hanya untuk laki-laki yang baik. Sedangkan laki-laki yang tidak baik hanya untuk perempuan yang tidak baik.
            ***
                                              

Komentar

Postingan populer dari blog ini

[CERPEN] Nostalgia Lebaran (Dimuat di Koran Waspada, Minggu 8 Juli 2018)

[CERPEN] "Merah Putih di Atas Api" Dimuat di Koran Waspada Minggu, 13 Agustus 2017

[CERPEN ANAK] Terima Kasih Guruku (Dimuat di Rubrik Taman Riang Koran Analisa, Minggu 27 November 2016)