[CERPEN] Memenjarakanmu Ke Dalam Bait Doaku (Dimuat di Koran Waspada Pada Minggu, 27 November 2016)

Koran Waspada Edisi Minggu, 27 November 2016


      Memenjarakanmu Ke Dalam Bait-bait Doaku        
                              Cerpen : Feby Farayola

          Semua orang tahu bahwa jatuh cinta adalah fitrah manusia. Jatuh cinta tidak bisa dicegah dan juga tidak bisa ditentukan akan jatuh kepada siapa. Sang pemilik hatilah yang mengatur itu semua. Aku percaya, rencanya-Nya selalu indah. Seperti indahnya perasaan yang sedang ku rasakan kini padanya.
            Manusia tidak ada yang sempurna. Tetapi di mataku dirinya begitu sempurna meski orang lain tidak beranggapan serupa. Mereka bilang fisikmu tidak indah. Namun bukan fisikmu yang membuatku jatuh hati. Melainkan sikap dan caramu berfikir. Keindahan raga itu fana. Maka tak seharusnya hal tersebut di puja-puja. Mereka berkata penampilanmu tidak istimewa. Namun aku suka dirimu yang apa adanya. Ah, mereka tidak tahu bahwa cinta lebih dari sekedar keindahan fisik semata.
            ***
            Adzan magrib berkumandang. Suara sang muadzin terdengar begitu merdu. Aku tahu itu suaramu. Bergegas aku mengambil air wudhu bersiap menunaikan kewajibanku sebagai seorang hamba. Selain telah menjerat hatiku dengan sikap dan caramu berfikir, kau juga telah menjerat hatiku dengan rasa cintamu pada-Nya.
            “Nggak sholat maghrib di mesjid, Mar?” Suara ibu membuyarkan lamunanku.
            Astaghfirullah. Mengapa aku terus membayangkanmu?
            “Enggak, bu. Kepala Marni agak pusing. Hari ini Marni sholat magrib di rumah saja,” jawabku.
            “Ya sudah, ibu dan ayah ke mesjid dulu ya.”
            Aku mengangguk.
            Adzan telah usai. Segera aku menggelar sajadah lalu mendirikan sholat. Beberapa minggu belakangan, ada hal yang tidak pernah absen ku lakukan usai sholat. Yaitu memenjarakanmu ke dalam bait-bait doaku. Di hadapanmu aku memang selalu bersikap acuh. Namun di hadapan sang maha pencita, dirimu selalu menjadi bahan perbincanganku dengan-Nya.
            Aku tidak tahu kapan persisnya perasaan ini tumbuh. Namun yang pasti, bayangmu selalu mengusik malamku.
            Kita tinggal di kota yang sama. Sejak SD hingga kuliah kita menuntut ilmu di tempat yang sama. Setelah menempuh pendidikan pada jenjang S1, barulah kita menjalani hari di tempat yang berbeda. Kau bekerja di sebuah bank di kota ini sedangkan aku bekerja di sebuah rumah sakit.
            Ketika kita berpapasan saat pulang bekerja, seringkali kau menyapaku sembari menyuguhkan senyum hangatmu. Kau juga selalu bersikap ramah dan santun padaku. Dan perhatianmu padaku sungguh luar biasa. Namun aku membalas itu semua dengan sikap acuh. Maaf, aku hanya tidak ingin perasaan ini mejerumuskanku dan menjerumuskanmu ke dalam jurang zina. Aku takut melanggar perintah-Nya. Aku percaya, jika kita ditakdirkan bersama siapapun tak akan bisa menyangkalnya.
            ***
            “Selamat pagi ibu bidan!”
            Sebuah suara yang begitu merdu mengusikku. Saat ini aku sedang menyiram tanaman yang tumbuh di halaman rumahku. Ku alihkan perhatianku pada pemilik suara itu. Ternyata itu dirimu yang sedang bermandikan peluh dengan mengenakan kaos oblong dan celana olahraga. Sepertinya kau baru saja lari pagi.
            “Selamat pagi juga,” jawabku acuh sambil kembali fokus menyiram tanaman.
            “Nggak kerja, Mar?”
            “Hari ini aku libur.”
            “Benarkah? Hari ini aku juga libur.”
            “Lalu?” tanyaku ketus sambil kembali memandangmu.
            “A-aku…” Kau terlihat gugup.
            “Kenapa?”
            “Tidak apa-apa. Aku pergi dulu ya.”
            Sejurus kemudian sosokmu menghilang dari pandanganku. Tetapi bayangmu tidak mau pergi dari ingatanku. Berulang kali aku mengucap istighfar agar diri ini tidak terus memikirkanmu.
            ***
            Suatu ketika selepas aku melaksanakan sholat maghrib di mesjid, bisik-bisik tetangga sampai ke telingaku. Ucapan mereka bagai belati tajam yang menusuku pendengaranku hingga tembus ke hati.
            “Marni, kapan pergi ke mesjid bareng sama suaminya?”
            “Usiamu sudah matang untuk berumah tangga lho, Mar. Kenapa masih melajang hingga sekarang?”
            “Jangan terlalu pemilih hanya karena kamu berpendidikan tinggi, Mar. Nanti jadi perawan tua lho.”
            “Mar, ibu dan ayahmu sudah ingin menggendong cucu tuh.”
            Jujur, aku sedih mendengar ucapan-ucapan itu. Aku belum memiliki pendamping di usiaku kini bukan karena aku terlalu pemilih atau apapun itu. Bukankah urusan jodoh sudah ada yang mengatur? Sebagai seorang hamba aku hanya bisa berdoa dan berusaha agar segera dipertemukan oleh pemilik tulang rusuk ini. Mungkin kini, sang pencipta belum mengizinkanku untuk bertemu dengan seseorang yang mendampingi namaku di lauhul mahfudz sana. Segera aku mengucap istighfar untuk menentramkan hati ini. Aku selalu percaya bahwa sang pencipta telah mempersiapkan yang terbaik bagi hambanya.
            ***
            Selepas aku melaksanakan sholat maghrib di mesjid pada hari lainnya, kau menghampiriku dengan tiba-tiba. Aku tidak bisa menebak maksudmu apa tetapi ekspresi di wajahmu waktu itu terlihat berbeda.
            “Boleh aku tanya sesuatu, Marni?” tanyamu.
            “Boleh. Mau tanya apa?” ucapku sambil membenahi kerudung yang aku kenakan.
            Kita berjalan berdampingan bersama beberapa warga yang menatap curiga. Terlebih kau mengikuti langkahku yang berjalan menuju rumah. Aku tidak tahu apa yang ada di dalam fikiran warga. Yang penting kita tidak berbuat apa-apa. Kita hanya sedang berbincang.    
            “Benarkah kau belum memiliki calon pendamping?”
            Seketika aku memandangmu dengan ekspresi terkejut. “Itu benar, Ali. Memangnya ada apa?”
            Jantungku berkontraksi. Cemas sekali rasanya menunggu jawabanmu. Terlebih wajahmu tampak malu-malu.
            “Kalau itu memang benar, aku ingin mengkhitbahmu.” Kalimat itu meluncur begitu saja dari bibirmu bersamaan dengan adzan isya yang berkumandang dengan syahdu.
            Baru saja kau hendak berkata lagi, namun aku mendahului. “Temuilah ayah dan ibuku ba’da isya, Ali. Aku duluan ya. Assalamualaikum.” Cepat-cepat aku berlalu meninggalkanmu dengan perasaan haru.
            Dirimu yang selama ini kupenjarakan ke dalam bait-bait doaku, kini telah membebaskan diri dan memintaku mendampingi kebebasanmu. Rencanya-Nya memang selalu indah.
            ***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

[CERPEN] Nostalgia Lebaran (Dimuat di Koran Waspada, Minggu 8 Juli 2018)

[CERPEN] "Merah Putih di Atas Api" Dimuat di Koran Waspada Minggu, 13 Agustus 2017

[CERPEN ANAK] Terima Kasih Guruku (Dimuat di Rubrik Taman Riang Koran Analisa, Minggu 27 November 2016)