[CERPEN] "Rahasia Di Balik Hujan" Dimuat di Koran Waspada Pada Minggu, 2 Juli 2017

Koran Waspada Versi Digital





Rahasia Di Balik Hujan
Oleh : Feby Farayola

           
            Pada siapa rindu itu akan bermuara sedangkan pemiliknya telah tiada? Haruskah gadis itu menyimpannya pada ruang paling gelap di hatinya? Tidak! Tentu saja tidak. Sebab rindu-rindu itu membuatnya semakin hari semakin sesak saja.
            Hari itu hujan kembali turun. Dan setiap kali hujan turun, frekuensi sesak yang dirasakan oleh gadis itu berlipat-lipat lebih dahsyat dari biasanya. Terlebih waktu itu adalah hujan bulan juni. Ada rahasia yang lahir di balik hujan bulan juni pada satu tahun silam. Saat dimana melihat pemuda itu tersenyum tak sesulit menguras air laut. Seorang pemuda yang bagi gadis itu sama berharganya seperti layaknya oksigen yang membuatnya mampu terus bernfas. Namun kini semuanya berubah. Menjadi sangat berbeda. Kini, menghabiskan waktu bersama pemuda itu adalah sesuatu yang mustahil. Seperti layaknya mengharapkan matahari bersinar pada gelapnya malam.
            “Kata orang, hal yang romantis dari hujan adalah ia rela terus kembali meski harus merasakan sakitnya jatuh berkali-kali. Tapi menurutku bukan itu hal yang romantis dari hujan,” ucap seorang pemuda saat bulan Juni belum segigil kini.
            “Lalu apa?” tanya gadis itu.
            “Meski banyak yang membencinya kehadirannya, ia tetap datang dan memberikan manfaat bagi banyak orang. Kamu harus bisa jadi seperti hujan ya, Ra!”
            Menjadi seperti hujan? Apa mungkin?
            Satu-satunya hal yang membuat gadis itu bersyukur atas takdirnya adalah memiliki pemuda itu. Pemuda yang tidak pernah keberatan ketika bahunya dibasahi dengan air mata olehnya.
            Di sekolah, gadis itu selalu mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan. Baik dari para kakak kelas maupun teman-teman satu angkatan. Di rumah, dirinya ibarat boneka porselen emas yang dijaga dengan ketat. Saking ketatnya, ia merasa terpenjara. Terpenjara dalam sepi. Sebab kedua orang tua yang seharusnya menjadi tempat berlindung yang paling aman justru sibuk dengan dunianya masing-masing. Ayahnya adalah seorang pengusaha yang jam kerjanya padat. Sedangkan mamanya adalah seorang wanita sosialita yang jarang berada di rumah.
            Sebenarnya, gadis yang bernama Raina itu tidak pernah membenci sepi. Sebab dalam sepi ia bisa melakukan apapun, memikirkan apapun, tanpa ada yang mengusik. Namun, dalam sepi ia membutuhkan teman untuk berbagi. Berbagi suka dan duka maupun tangis dan tawa. Tetapi siapa? Siapa yang sudi menemani gadis aneh dan kesepian seperti dirinya?
            Ternyata, semesta masih berbaik hati padanya. Dirinya dipertemukan dengan pemuda itu pada suatu pegelaran wayang golek. Sampai detik ini gadis itu selalu tersenyum ketika mengingat momen saat pertama kali mereka bertemu. Apakah tidak ada momen yang lebih romantis selain pegelaran wayang golek untuk bertemu dengan seseorang yang spesial?
            Waktu itu pemuda tersebut menjadi dalang pada pegelaran tersebut. Usai pegelaran, ia membantu seorang pria paruh baya menjual kemeja batik. Kebetulan, ketika itu Raina membeli kemeja batik di kios pemuda tersebut. Percakapan diantara mereka mengalir begitu saja. Ternyata mereka satu sekolah. Ternyata mereka sama-sama menyukai wayang dan hujan.
            “Siapa tokoh wayang favoritmu?” tanya Raina pada pemuda itu.
            “Rama.”
            “Rama? Suami dewi Sinta? Apa yang kamu suka darinya? Bukankah dia lelaki yang menyebalkan?” tanya Raina.
            “Kenapa kamu berfikir begitu?”
            “Tidak percaya pada istri sendiri, apa itu bukan sesuatu yang menyebalkan? Ketika dewi Sinta di culik Rahwana, dia meragukan kesucian istrinya. Bahkan setelah dewi sinta membuktikan kesuciannya, pada kasus yang lain dia tetap meragukan kejujuran istrinya,” jelas Raina panjang lebar.
            “Hey, dia cuma memastikan. Bukannya meragukan,” sergah pemuda itu.
            Setelah hari itu, instensitas pertemuan mereka meningkat. Sebelum bertemu pemuda itu hari-hari yang dilewati Raina begitu berat. Kini, bersamanya semua terasa mudah. Termasuk menghadapi orang-orang yang memperlakukannya dengan buruk.
            “Kenapa sih mereka jahat sekali?” ucap Raina.
            “Jawabannya ada pada dirimu sendiri, Ra. Kamu harus tahu kalau orang-orang memperlakukan kita sesuai tingkah laku kita,” sahut pemuda itu.
            Raina berfikir keras. Selama ini ia tidak pernah membuat masalah dengan mereka yang selalu memperlakukannya dengan jahat. Lalu apa masalahnya?
            “Apa mungkin karena aku tidak pernah melawan?” ucap Raina tiba-tiba.
            “Nah, itu kamu tahu.” Pemuda itu menatap Raina sambil mengelus rambutnya. “Jadilah gadis yang kuat, Ra. Karena cantik saja gak cukup untuk bertarung melawan kejamnya hidup.”
            Selama pemuda itu selalu ada, Raina yakin ia akan tetap menjadi sosok yang kuat. Sebab baginya, pemuda itu adalah energi ketika ia lemah. Ia adalah pondasi ketika Raina rapuh. Sayangnya gadis itu tidak pernah memikirkan perihal kehilangan. Tidak ada yang abadi di bumi ini. Apa yang kita miliki akan pergi jika telah tiba masanya. Termasuk kebersamaan antara mereka.
            Waktu itu, ketika pemuda itu akan beraksi dengan wayang-wayang kulitnya, entah apa yang sebenarnya terjadi. Tiba-tiba saja lampu yang menggantung di panggung tersebut terjatuh dan menimpa pemuda tersebut. Selain berat, kaca yang terdapat pada lampu tersebut menancap di tubuhnya. Pegelaran wayang waktu itu gagal seiring terjadinya musibah yang menimpa sang dalang. Tidak hanya langit yang menangis saat itu, tetapi Raina juga. Seiring dengan rintik hujan yang bertambah deras, gadis itu terus merapalkan doa agar tuhan tidak mengambil nyawa pemuda tersebut secepat ini. Sebab, gadis itu belum sempat membeberkan sebuah rahasia pada pemuda itu. Rahasia yang selama ini dipendamnya. Bahwasanya gadis itu rela menukar apapun yang dimilikinya asalkan ia bisa menghabiskan waktu bersama pemuda itu sepanjang sisa hidupnya.
            Sayangnya, sebelum kejujuran itu diungkapkannya, pemuda itu telah meregang nyawa. Setelah kepergian pemuda itu, Raina bersusah payah mengumpulkan kepingan-kepingan semangat hidupnya yang pecah. Apakah ia bisa? Entahlah. Namun, apapun yang terjadi hidup akan terus berlanjut.
            ***
                                  

Komentar

Postingan populer dari blog ini

[CERPEN] Nostalgia Lebaran (Dimuat di Koran Waspada, Minggu 8 Juli 2018)

[CERPEN] "Merah Putih di Atas Api" Dimuat di Koran Waspada Minggu, 13 Agustus 2017

[CERPEN ANAK] Terima Kasih Guruku (Dimuat di Rubrik Taman Riang Koran Analisa, Minggu 27 November 2016)