[CERPEN] Nyanyian Sungai Nil (Dimuat di Koran Waspada, Minggu 2 Desember 2018)
Nyanyian
Sungai Nil
Oleh : Feby Farayola
Langit malam kota Cairo masih
terjaga menemani Dzulkarnain yang sedang bersimpuh sambil bercucuran air mata
dalam sujudnya. Sepertiga malam seperti saat ini adalah saat yang sakral untuk
mengadu perihal segal hal yang memebelenggu dan juga meminta yang selama ini
didamba. Begitupun dengan pemuda itu. Sebagai seorang hamba yang merasa hina
dan penuh dosa tak henti-hentinya Dzulkarnain menyusun tangga-tamgga doa untuk
menuju pintu ampunan sang maha pencipta.
Sudah sekian tahun lamanya ia
tinggal di bumi tempat kelahiran para nabi dengan harapan saat pulang ke
kampung halaman nanti ia telah menyelesaikan pendidikan S1 dan menjadi
pendakwah yang mampu membangunkan jiwa para umat yang sedang terlelap dalam
keterlenaan terhadap dunia. Besar harapan kedua orang tuanya terhadapnya.
Selain karena Dzulkarnain adalah anak laki-laki satu-satunya di keluarga,
dirinya juga seorang anak sulung yang kelak akan memayungi adik-adiknya dari
teriknya kehidupan. Namun semua harapan-harapan itu sirna bahkan sebelum ia
sempat meraih gelar S1 pada sebuah univeritas yang ada di kota itu. Air mata
masih menganak sungai dari kedua matanya. Dirinya benar-benar terpukul atas
kesalahan yang telah dilakukannya.
“Sungguh mengerikan godaan yang diberikan
oleh dunia ini.” Dzulkarnain mengucapkan kalimat tersebut dengan bibir
bergetar.
Dzulkarnain yang sekarang bukan lagi
sosok yang sama seperti pada masa lalu. Dirinya kini adalah seorang pendosa
ulung. Mulanya semuanya berjalan dengan semestinya. Namun malam itu ketika
seseorang yang entah dapat dikatakan seorang teman atau bukan mengajaknya
terlibat dalam perdagangan obat-obatan terlarang, hidupnya berubah. Dzulkarnian
gelap mata. Mengingat kondisi ekonomi keluarganya di negeri seberang yang sedang
kacau, tanpa pikir panjang ia menyetujui ajakan tersebut meski pertanggung jawabanan
yang besar baik di dunia maupun akhirat telah menantinya.
Semenjak bergabung dengan
perdagangan terkutuk itu, Dzulkarnain jauh dari tuhan. Bahkan ia semakin dekat
dengan dunia gelap yang hanya berisi dosa, dosa, dan dosa. Ia bahkan tak
segan-segan membiarkan dirinya terkepung di dalam lingkaran zina. Akal sehatnya
bagai telah tertutup oleh tabir hitam.
Sekelebat wajah Ainun hadir dalam
pikiran Dzulkarnain. Air matanya semakin deras. Apakah dirinya masih pantas
menyunting gadis itu suatu saat nanti sedangkan dirinya telah begitu kotor?
Ainun sendiri adalah seorang santriwati yang pernah menimba ilmu di sebuah
pesantren yang sama dengannya saat masih berada di negara asalnya dulu. Seorang
gadis berparas elok dan bersuara merdu yang memiliki segudang prestasi.
Beberapa tahun silam Dzulkarnain dan
Ainun sama-sama mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan pendidikan sebuah
universitas di Cairo. Bukan main senangnya hati Dzulkarnain saat itu. Sebab
sudah lama ia menaruh hati pada gadis itu. Namun ia memilih memendamnya dan
bermaksud akan mengutarakannya suatu saat nanti ketika waktunya sudah tepat.
Tetapi apakah waktu yang tepat itu sudi menghampirinya?
Meski tidak banyak waktu antara
Dzulkarnain dan Ainun untuk berbincang, namun keduanya sering bertemu di sepanjang
tepian sungai nil dalam keadaan beramai-ramai dengan sesama mahasiswa Indonesia
yang menuntut ilmu di Cairo yang lainnya. Sebagai insan yang mengerti
batasan-batasan antara laki-laki dan perempuan dalam agama yang mereka anut,
Dzulkarnain dan Ainun hanya bertegur sapa. Selebihnya tidak ada basa-basi yang
dapat mengundang obrolan panjang. Hanya Dzulkarnain, Ainun, dan sang maha
pencipta lah yang mengetahui isi hati masing-masing. Sedangkan sungai nil turut
bernyanyi melihat dua insan yang menyembunyikan isi hati.
“Pantaskan pendosa sepertiku
membersamainya yang masih terjaga?” Lagi-lagi Dzulkarnain mengucapkan sebaris
kalimat dengan bibir bergetar.
Malam semakin larut. Begitupun
Dzulkarnain yang semakin larut dalam doa dan penyesalan. Pintu hatinya terketuk
saat desas-desus bahwa keberadaan mereka telah tercium oleh aparat setempat.
Ditambah lagi dengan diterimanya kabar bahwa ibunya di negeri seberang sana
sedang sakit keras. Seketika itu juga ia bagai ditampar oleh kenyataan bahwa
tidak seharusnya dirinya berada di dunia seperti dunianya sekarang.
Dzulkarnain pulang ke flat-nya yang kosong. Sudah lama ia
memisahkan diri dari teman-teman sesama mahasiswa dari tanah air. Kehampaan
yang menyesakkan seketika menjejalinya. Nyanyian sungai Nil tidak lagi
terdengar merdu. Melainkan terasa menyayat hati. Saat itu juga air matanya
meleleh.
“Ya tuhan… ya tuhanku… hamba mohon
ampun.”
Tiba-tiba Dzulkarnain mendengar
pintu flat-nya diketuk dengar keras.
Tanpa permisi, pintu tersebut dibuka paksa. Beberapa aparat keamanan setempat
menyerbu masuk ke dalam flat tersebut
dan segera memborgol kedua tangan Dzulkarnain. Ia segera diringkus untuk dibawa
ke balik jeruji besi. Dzulkarnain pasrah. Dirinya tidak melakukan perlawanan
apa-apa sebab ia paham betul bahwa dirinya bersalah.
Sepanjang perjalanan menuju tempat
yang paling tidak menyenangkan selama hidup di dunia, yaitu penjara, air mata
Dzulkarnain tak henti-hentinya meleleh. Penyesalan yanga amat sangat
menjejalinya. Wajahnya keluarganya yang jauh di sana terus terbayang. Wajah
ibunya yang teduh, wajah ayahnya yang tegas namun penuh kasih sayang, dan wajah
adik-adiknya yang menenangkan. Andai saja waktu itu dirinya tidak gelap mata
semuanya tidak akan menjadi seperti saat ini.
Sebagai manusia yang beragama dan
berlatar belakang keluarga yang taat pada ajaran allah, seharusnya dirinya
paham bahwa allah telah memberikan rezeki pada masing-masing hambanya. Dan
rezeki tersebut harus dijemput dengan usaha dan doa. Bodohnya Dzulkarnain yang
melupakan hal tersebut demi kesenangan sesaat.
Sebelum melaksanakan sholat tahajjud
tadi, Dzulkarnain sempat melaksanakan sholat taubat. Sebab dirinya yakin allah
maha pengampun. Besar harapan Dzulkarnain tobatnya akan diterima. Namun
bagaimana dengan manusia? Bukankah saat ini banyak manusia yang merasa layak
menjadi sang hakim? Mereka merasa berhak mengadili mana yang benar dan mana
yang salah. Mana yang baik dan mana yang buruk. Mana yang berhak diampuni dan
mana yang tidak berhak diampuni. Padahal, sang pemilik semesta sendiri adalah
sang maha pengampun dan penerima taubat.
Gejolak dalam batin Dzulkarnain
semakin menjadi-jadi. Air matanya semakin deras. Penyesalannya semakin dalam.
Namun ia tidak dapat berbuat apa-apa. Maka sepanjang perjalanan ia terus
melantunkan dzikir. Dzikir yang keluar dari mulut seorang hamba yang hina yang
mendamba ampunan tuhannya. Setiap yang berdosa akan mendapat hukuman. Baik
hukuman di dunia maupun di akhirat. Maka kini, Dzulkarnain benar-benar telah
memasrahkan semuanya.
Tiba-tiba sebuah bus berkecapatan
tinggi melaju dengan arah berlawanan. Aparat yang mengendarai mobil yang
membawa Dzulkarnain kehilangan kendali. Hingga akhirnya mobil tersebut menabrak
pembatas jalan yang terjun ke dalam sungai nil.
“La ilaha illallah.” Itu adalah
ucapan terakhir Dzulkarnain sang pendosa sebelum sakit yang luar biasa menusuk
hingga ke tulangnya.
Malam itu sungai nil bernyanyi.
Mendendangkan irama kematian mengiringi kepergian seorang pendosa yang mendamba
ampunan dari tuhannya.
***
Komentar
Posting Komentar