[CERPEN] Pertanyaan Sang Pendosa Kepada Kekasihnya (Dimuat di Koran Medan Pos, Minggu 2 Desember 2018)

Koran Medan Pos Versi Digital


Pertanyaan Sang Pendosa Kepada Kekasihnya
Oleh : Feby Farayola

 
           
            Seandainya Tami tidak membatalkan pernikahan mereka secara sepihak dan tiba-tiba, mungkin Abdi akan menjadi laki-laki yang paling beruntung karena bisa menjadi suaminya. Bagaimana tidak? Tami adalah perempuan dengan keindahan paras yang tak perlu diragukan. Selain itu ia juga berpendidikan tinggi dan memiliki pemikiran terbuka. Perempuan itu juga dianugerahi sikap dan tingkah laku yang membuat siapapun yang mengenalnya menyenanginya. Laki-laki mana yang tidak ingin memiliki pendamping sesempurna itu?
            Tidak ada penjelasan apa-apa yang diberikan Tami perihal keinginannya untuk membatalkan pernikahan itu. Dipertemuan terakhir mereka Abdi sempat bertanya, apakah ini mengenai pertemuan Tami dengan laki-laki lain yang lebih baik dari Abdi? Namun Tami menjawab dengan gelengan kepala yang tegas. Selain hal tersebut Abdi tidak memiliki firasat lain perihal alasan yang menyebabkan Tami bersikap seperti ini.
            Sebelum mereka memutuskan untuk mengikat jani suci semuanya berjalan dengan baik-baik saja. Tami dan Abdi dipertemukan dalam sebuah perjodohan yang dilakukan oleh keluarga kedua belah pihak. Layaknya pertemuan dalam sebuah perjodohan, mulanya Tami dan Abdi tidak menyukai pertemuan itu. Tetapi setelah sekian lama saling mengenal akhirnya benih-benih cinta itu mulai tumbuh hingga akhirnya terbesit keinginan untuk menghabiskan sisa hidup berdua. Namun keinginan itu pupus ketika malam itu Tami menyatakan bahwa ia ingin pernikahan itu dibatalkan.
            Malam itu Tami mengajak Abdi bertemu di sebuah taman. Angin berhembus kencang. Bulan dan bintang hilang ditelan awan mendung. Berulang kali Abdi meyakinkan diri bahwa apa yang diucapkan Tami barusan hanya sebuah lelucon bodoh.
            “Aku ingin pernikahan kita dibatalkan. Sungguh, ini serius!”
            “Tapi kenapa? Apa karena laki-laki lain yang lebih baik dari aku?” tanya Abdi dengan perasaan ketar-ketir.
            “Bukan!” Tami menggeleng cepat. “Bukan itu. Sudahlah. Lupakan saja semuanya.” Sejurus kemudian Tami pergi begitu saja meninggalkan hati yang baru saja dipatahkannya.
            Abdi tidak mengerti apa salahnya. Selama ini mereka jarang bertengkar. Bahkan nyaris tidak pernah. Apa karena Tami takut hidup melarat dengannya? Ah, dirinya adalah seorang pengusaha di bidang kuliner yang memiliki banyak restoran. Tami tidak akan kekurangan nafkah jika hidup bersamanya. Apa karena sikap dan tingkahnya yang tidak menyenagkan di mata Tami? Ah, Abdi adalah sosok laki-laki yang mampu menundukkan ego dan menumbuhkan tunas-tunas kesabaran dalam dirinya. Lalu sebenarnya, apa yang membuat Tami pergi darinya?
            Lagipula apa Tami tidak memikirkan usianya yang sudah memasuki zona rawan bagi kaum perempuan yang belum menikah? 30 tahun. Ya, usia tami berkisar 30 tahun. Menurut cerita dari ibunya, Tami sudah sering mendapatkan desakan dari keluarganya untuk segera membina rumah tangga. Alasan pamungkas yang selalu diucapkan Tami adalah dirinya belum menemukan sosok laki-laki yang tepat. Lalu setelah semua yang pernah mereka lewati bersama, apakah Abdi masih tergolong kategori laki-laki yang belum tepat? Semua ini membuat Abdi tertekan.
            Sepanjang hari pasca gagalnya pernikahan itu Abdi melalui hari-harinya hanya dengan melamun sambil memikirkan Tami dan menikmati rasa sakit di hatinya. Masih terngiang jelas wajah pucat dan ketakutan Tami di malam itu. Mengapa wajah Tami tampak pucat dan ketakutan malam itu? Astaga, memikirkan semua tentang Tami hanya akan menambah rasa sakit di hati Abdi. Namun lucunya semakin ia berusaha melupakan perempuan itu semakin jelas pula bayangannya menari-nari dalam fikiran Abdi.
            “Sial sial sial!” Abdi membentur-benturkan kepalanya ke dinding. Sungguh miris.
            Dirinya ingin melupakan segala tentang Tami dan juga perasaannya terhadap perempuan itu. Namun ia tidak bisa. Semua terasa sulit. Perempuan itu telah masuk hingga ke dasar hatinya dan melekat dengan sangat erat di sana sehingga sulit bagi Abdi untuk mengeluarkannya. Duka yang berkepanjangan membuat Abdi jatuh sakit. Semangat hidupnya redup. Seolah-olah ia tidak ingin hidup lebih lama lagi.
            Tanpa sepengetahuan Abdi, di tempatnya berada saat ini Tami juga mengalami hal serupa. Sepanjang hari dilaluinya hanya dengan mengurung diri di dalam kamar. Pola makan dan tidurnya tidak teratur. Lingkaran hitam di matanya menyiratkan duka yang amat dalam.
            “Ikutlah menjenguk Abdi, nak,” ucap ibu dari Tami. Hari ini keluarga mereka akan menjenguk Abdi untuk meluruskan persoalan yang terjadi antara anak-anak mereka. Namun Tami enggan ikut. Dirinya tidak siap bertemu dengan Abdi.
            Wanita paruh baya itu menggeleng-gelengkan kepala melihat putrinya tidak merespon. Ia tahu ini pasti akan sulit. Sebelumnya, ia telah berhasil membujuk Tami agar membuka pintu kamarnya. Dan kali ini dirinya yakin bahwa ia mampu membujuk Tami untuk menjenguk laki-laki yang hampir menjadi pendampingnya.
            “Apapun yang terjadi kamu tidak bisa selamanya bersembunyi,” ucap wanita paruh baya itu lagi. “Hadapilah sebelum kamu melanjutkan hidupmu.”
            Kalimat tersebut bagai sebuah energi yang meruntuhkan dinding kokoh dalam hati Tami. Akhirnya gadis itu menyetujui untuk ikut menjenguk Abdi. Namun setibanya di kediaman keluarga Abdi, perempuan itu tidak bersuara sedikitpun walau dipaksa.
            Berbagai macam perasaan membuncah di hati Tami dan Abdi ketika bertemu. Senang, rindu, gelisah, marah, kecewa. Namun tidak ada yang mau membuka mulut. Pertemuan keluarga kedua belah pihak waktu itu berakhir sia-sia. Tiada yang tahu Tami menangis dalam diam disepanjang perjalanan pulang.
            Seminggu berlalu. Tersiar kabar bahwa keadaan Abdi semakin parah. Keadaan Tami semakin kacau setelah mendengar berita itu. Ada sesuatu yang bergejolak dalam dadanya. Tidak, ia tidak bisa terus bersembunyi. Seperti yang dikatakan ibunya, dirinya harus menghadapi apa yang harus di hadapi sebelum ia melanjutkan hidupnya dengan tenang. Maka malam itu, dengan tangan bergetar Tami meraih ponselnya dan menghubungi Abdi. Telepon itu dijawab Abdi setelah terdengar hanya dua kali nada sambung.
            “Aku ingin bertemu.”
            “Kali ini apalagi?” sahut Abdi di seberang telepon dengan suara parau.
            “Ku mohon.”
            Terdengar suara Abdi menghembuskan nafas panjang. “Baiklah. Kapan? Di mana?”
            “Besok malam. Di taman yang sama ketika aku mengakhiri semuanya.”
            Hening sejenak.
            “Baiklah, tunggu aku,” ucap Abdi.
            Sambungan telepon diputus.
            ***
            Tempat yang sama di malam yang berbeda. Kembali berada di tempat ini membuat luka itu kembali menganga. Namun, firasat Abdi mengisyaratkan sesuatu yang baik akan terjadi. Maka kemarin ketika Tami mengajaknya kembali bertemu di tempat ini tanpa pikir panjang ia langsung menyetujuinya.
            Waktu itu mereka duduk bersebelahan pada sebuah bangku taman. Keheningan menyelimuti. 15 menit telah berlalu namun tak ada satupun dari mereka yang membuka suara. Sampai akhirnya, Tami memulai penjelasannya dengan suara gemetar.
            “Aku bukan perempuan baik-baik. Aku seorang pendosa. Sebelum seperti sekarang aku sering melakukan dosa. Aku pernah mendekati zina. Karena itu aku tidak mau kamu menyesali keputusanmu ketika kamu memilihku. Maaf, aku tidak memberikan penjelasan apa-apa waktu itu. Sebab aku takut. Aku takut kau membenciku.” Tanpa sadar kesedihan Tami berkamuflase menjadi tangisan.
            Astaga! Abdi tidak habis fikir dengan jalan pikiran perempuan yang sedang bersamanya saat itu. Bukankah tidak ada manusia yang seutuhnya putih? Termasuk dirinya. Mengapa Tami sampai berpikiran seperti itu? Dan apakah perempuan itu tidak memahami bahwasanya bagi Abdi, tidak penting siapa perempuan itu di masa lalu. Yang penting adalah saat ini perempuan itu telah menjelma menjadi kupu-kupu yang indah. Bukan lagi seekor ulat yang menggelikan.
            “Setelah ini, apakah semuanya masih tetap sama?” Tami berujuar lagi tanpa menatap wajah Abdi. Ia tak bernyali menatap wajah lelaki itu. Namun, ketika Abdi mengucapkan sebaris kalimat itu segala resah dan gundahnya menghilang begitu saja.
            “Tidak peduli siapa kamu di masa lalu. Yang penting di masa kini dan nanti kamu bukanlah kamu yang dulu.”
            ***
                                                                                   
                                                    

Komentar

Postingan populer dari blog ini

[CERPEN] Nostalgia Lebaran (Dimuat di Koran Waspada, Minggu 8 Juli 2018)

[CERPEN] "Merah Putih di Atas Api" Dimuat di Koran Waspada Minggu, 13 Agustus 2017

[CERPEN ANAK] Terima Kasih Guruku (Dimuat di Rubrik Taman Riang Koran Analisa, Minggu 27 November 2016)