[CERPEN] Perempuan Pemeluk Ombak (Dimuat Di Koran Waspada, Minggu 5 Mei 2019)
Perempuan
Pemeluk Ombak
Oleh
: Feby Farayola
Perempuan itu memiliki
rambut berwarna hitam yang lebat dan sangat panjang. Saking panjangnya kau
tidak akan mengetahui bagaimana lekuk tubuhnya ketika perempuan itu membiarkan
rambutnya tergerai. Tidak ada yang tahu persis bagaimana wajahnya. Penduduk
setempat hanya mengetahui bahwa setiap jam 10 malam perempuan itu akan datang
ke pesisir pantai dan menangis. Tangisannya terdengar sendu dan begitu menyayat
hati. Perihal penyebab tangisan perempuan itu, penduduk setempat juga tidak ada
yang mengetahuinya. Yang pasti, tidak ada penduduk yang menjejakkan kaki di
sekitar pantai ketika perempuan itu telah menampakkan diri. Begitulah sekiranya
penuturan yang di jelaskan oleh pamanku.
Untuk pertama kalinya aku bertemu
dengan perempuan itu di hari pertama kepulanganku ke desa ini. Ujian akhir
semester dan segala aktivitas di kampus telah selesai. Maka ketika libur telah
membuka pintu waktu, aku memilih pulang ke kampungku untuk melunasi rindu.
Malam itu aku merasa sangat gerah.
Karena kampung ini terletak berdekatan dengan pantai, maka aku memutuskan
berjalan-jalan di sekitar pantai untuk mengusir kegerahan tersebut. Meski jam
telah menunjukkan pukul 10 malam, tiada takut yang merasuki. Sebab di desa ini
aku lahir dan di besarkan. Setidaknya aku dan desa ini sudah saling mengenal
sejak lama.
Ombak menjilat kakiku yang sengaja
ku biarkan tanpa alas. Rasanya menyenangkan. Sudah lama sekali rasanya aku
tidak merasakan sensasi seperti ini ketika berada di kota untuk meraih gelar
sarjana. Tiba-tiba aku mendengar suara perempuan sedang menangis. Semakin lama
suaranya terdengar semakin jelas. Samar-samar, aku melihat sosok perempuan
berambut panjang yang sedang duduk memeluk lutut di bibir pantai. Posisinya
yang seperti itu membuatnya terlihat seperti sedang memeluk ombak.
“Tangisan itu berasal darimu?”
tanyaku pada perempuan itu sambil mendekatinya.
Ia tampak kaget dengan kehadiranku.
Dengan gerakan cepat ia berlari ke dalam hutan yang ada di sebelah barat pantai
ini. Bersebelahan dengan desa tempat aku tinggal.
Hal tersebut segera ku ceritakan
pada paman setibanya aku di rumah. Pamanku yang masih lajang itu memang tinggal
bersama keluargaku semenjak kakek dan nenekku sudah tiada.
“Jangan sekali-kali kau pergi ke
pantai pada pukul 10 malam ke atas, Di.”
“Tapi kenapa paman?”
“Kau tidak takut bertemu dengan
perempuan itu?”
“Kelihatannya dia tidak berbahaya.”
“Kita tidak tahu ada apa dibalik
gerak-geriknya yang tidak berbahaya itu.” Pamanku menggaruk kumis tebalnya dengan
wajah jengkel. “Kau tahu? Kemarin salah satu anak laki-laki pak lurah ditemukan
dalam keadaan meninggal di tepi pantai.”
“Lalu?” Aku mulai tertarik dengan
cerita paman.
“Menurut pengakuan pak lurah anak
laki-lakinya itu sering bertemu dengan perempuan itu. Beberapa hari setelahnya
ia ditemukan tidak benyawa. Tidakkah kamu paham, Di?”
“Paham apa paman?” tanyaku dengan
dahi berkerut.
“Perempuan itu pembawa sial.”
Malam itu aku dan paman memutuskan
untuk mengakhiri obrolan mengenai perempuan pemeluk ombak itu sampai pada
kesimpulan paman bahwa perempuan tersebut pembawa sial. Sebab rasa kantuk yang
luar biasa menyerang kami.
***
Keesokan harinya bayang-bayang
mengenai perempuan pemeluk ombak itu masih memenuhi pikiranku. Siapa sebenarnya
dia? Untuk apa dirinya berada di tepi pantai sendirian pada pukul 10 malam?
Apakah dia penduduk desa ini juga? Dan mengapa penampilannya terlihat begitu
tidak terurus? Untuk menuntaskan rasa penasaranku aku memutuskan kembali datang
ke pantai pada pukul 10 malam secara diam-diam.
Kini waktu menunjukkan pukul
setengah sebelas malam. Dan perempuan itu belum menunjukkan tanda-tanda akan
kehadirannya. Yang terdengar hanya gemuruh ombak yang menabrak sampan nelayan
yang tertambat di dermaga.
Tiba-tiba suara tangisan mengusikku.
Aku berjalan mengikuti arah dimana suara itu berasal. Dan benar saja. Perempuan
pemeluk ombak itu tampak sedang duduk memeluk lutut di bibir pantai. Membiarkan
sekujur tubuhnya basah.
“Apa yang terjadi? Kenapa kamu
menangis?” tanyaku padanya dengan hati-hati. Cemas kalau perempuan itu akan
berlari dariku seperti waktu itu.
Perempuan itu tidak memberikan
reaksi apa-apa. Hanya suara tangisnya yang semakin keras yang
diperdengarkannya.
“Aku bisa membantumu kalau kamu
mau.” Perlahan, aku mendekatinya dan duduk di sebelahnya. Perempuan itu tampak
kaget. Reaksi yang sama seperti waktu itu. Dari gerak-geriknya sepertinya ia
bersiap berlari meninggalkanku. Tetapi sebelum itu terjadi aku buru-buru
menambahkan, “Aku tidak akan menyakitimu. Percayalah.”
Perempuan itu menjadi lebih tenang
setelah mendengar ucapanku barusan.
“Aku Adi,” ucapku sambil menjulurkan
tangan. Perempuan itu tampak bingung. “Kalau kamu mau tahu namaku.”
“Selena,” ucapnya dengan suara serak
sambil menyambut uluran tanganku. Sejauh ini tiada ku rasakan aura menakutkan
pada diri perempuan yang ternyata memiliki nama Selena itu.
“Aku pernah membaca bahwa Selena
memiliki arti cahaya rembulan. Pasti orang tuamu berharap kamu akan bersinar
seperti bulan di gelapnya malam ketika memilihkan nama itu untukmu.” Aku
memulai pembicaraan.
Selana tidak menanggapi ucapaku.
Awan kesedihan tampak menyelimuti wajah pucatnya. Di wajah itu tiada ku temukan
gairah apapun. Ia seperti kehilangan semangat hidup.
“Kamu benar. Tetapi sayangnya harapan
tinggal harapan,” ucap Selena.
“Apa maksudmu?”
Sebelum menjawab pertanyaanku Selena
kembali menangis sejadi-jadinya. Rambut panjangnya yang berwarna hitam dan
lebat itu kali ini diikatnya. Sehingga aku dapat melihat wajahnya dengan jelas.
Tak pernah sebelumnya aku bertemu seseorang dengan kesedihan mendalam yang
tergambar jelas di wajah. Dan ketika aku bertemu Selena, aku melihat hal
tersebut.
“Sudah lama aku ingin berbagi
cerita. Tapi aku tidak tahu pada siapa. Semua orang menjauhiku. Semua orang membenciku,”
ucapnya dengan sesegukan.
“Kamu boleh membagikan semua
ceritamu padaku.” Melihat kesedihan di wajahnya, aku merasa ingin mengubahnya
menjadi sebuah kebahagiaan.
“Aku tidak tahu apakah aku bisa
percaya padamu atau tidak. Tetapi saat ini aku sungguh ingin bercerita.”
“Kalau begitu ceritalah.”
Perlahan, Selena memulai ceritanya.
Bahwa dirinya adalah anak yang terlahir dari perbuatan tidak bertanggung jawab
dari seorang laki-laki yang tidak mempunyai budi pekerti di desa tempat aku
tinggal. Warga setempat mengira ibunya telah berzina. Tidak ada penjelasan dari
ibunya yang dipercaya oleh para penduduk. Puncaknya, ibunya diusir dari desa
itu dan melarikan diri ke dalam hutan dengan seorang nenek tua yang berprofesi
sebagai seorang tabib di desa itu. Meski terusir dan harus hidup sebatang kara,
mulanya kehidupan Selena dan ibunya baik-baik saja sampai Selena menginjak usia
10 tahun.
Namun, semuanya berubah ketika
laki-laki tidak berbudi pekerti itu berhasil menemukan persembunyian mereka dan
melakukan hal keji itu kembali pada ibunya dengan alasan dendam kusumat kepada
keluarga ibu Selena. Nenek tabib yang tidak berdosa itu bahkan kehilangan nyawa
di tangan laki-laki kurang ajar itu. Akibat kejadian tersebut, ibu Selena
kehilangan kewarasan. Hingga detik ini satu-satunya yang membuatnya bertahan
menjalani hidup adalah harapan bahwa kelak ibunya akan sembuh.
“Sudah pernah membawa ibumu
berobat?”
Selena menggeleng. “Aku tidak punya
uang.” Astaga, malang betul nasib peremuan ini. Ingin rasanya aku membebaskannya
dari belenggu kesedihan.
Tiba-tiba dari balik semak-semak aku
mendengar suara jeritan, “Laki-laki kurang ajar! Menjauh dari anakku!”
Dengan gerakan cepat perempuan yang
muncul dari balik semak-semak itu menancapkan pisau yang dibawanya ke perutku
berulang-ulang.
“Astaga ibu hentikan! Dia bukan
laki-laki itu!” Selena meraung-raung dalam tangisan.
Setelah itu aku tidak ingat apa-apa
lagi selain kegelapan dan rasa sakit yang luar biasa.
***
Komentar
Posting Komentar