[CERPEN] Pria Hebat yang Kupanggil Bapak dimuat di Rubrik Cemerlang (Koran Waspada) 10 April 2016




Pria Hebat yang Kupanggil Bapak 
Oleh : Feby Farayola



Jika ku ceritakan kisah-kisah yang pernah ku lalui bersama bapakku, mungkin kalian akan mengira bahwa aku dan bapak tidak saling menyayangi. Dalam fikiran kalian mungkin akan timbul sebuah anggapan bahwa kami saling membenci. Perlu ku tegaskan, jika kalian memang berfikir seperti itu sebaiknya buanglah pemikiran itu jauh-jauh. Karena kalian tidak pernah tahu kisah seperti apa yang sebenarnya pernah ku lalui dengan bapakku.
            ***
            Bapakku bukanlah seorang pria berdasi yang setiap hari pergi ke kantor dengan mengendarai sebuah mobil mewah. Bapakku hanyalah pria yang berprofesi sebagai seorang security di sebuah pabrik karet milik perusahaan asing yang terletak pada salah satu kawasan di Sumatera Utara. Setiap malam bapak pergi bekerja dengan mengendarai sebuah sepeda motor tua kesayangannya. Disaat semua orang terlelap, bapak justru sibuk mencari rezeki demi keluarganya.
            Meskipun bapak berprofesi hanya sebagai seorang security, tetapi bapak tidak pernah kehabisan cara untuk membahagiakanku, membahagiakaan mamakku dan juga adikku. Disaat bapak orang lain menuntut supaya anaknya dapat menutupi kegengisannya, namun bapakku hanya berharap agar aku tidak melakukan hal-hal yang mengecewakannya.
            Saat ini aku terdaftar sebagai salah satu mahsiswi di sebuah universitas di kota Medan. Hal itu membuatku terpaksa harus hidup jauh dari bapak. Kini, jarak diantara kami begitu membentang. Kerinduan sering kali muncul disaat aku termenung seorang diri di tengah heningnya malam. Wajah lelah bapak ketika pulang kerja selalu terngiang dalam fikiranku. Perlu kalian ketahui, seberapa besar rasa sayang yang kita miliki terhadap seseorang dapat kita ketahui saat kita sedang berada jauh dari seseorang itu. Seperti yang ku alami saat ini. Andai waktu dapat diputar, sebelum aku menjadi anak rantauan, aku akan memilih untuk menghabiskan waktu lebih lama dengan bapak ketimbang orang-orang di luar sana.
            Saat aku masih duduk di bangku SMA, aku sering pergi bermain dengan teman-temanku di luar tanpa mengindahkan larangan bapak. Aku ingat, waktu itu adalah hari pembagian raport semester akhir pada kelas 2. Teman-teman satu kelasku mengajak aku pergi rekreasi ke pantai dengan alibi melepas penat sehabis ujian. Tentu saja aku menyetujui ajakan tersebut. Waktu itu aku berfikir, lagipula sebentar lagi kami akan memasuki tahun ajaran baru di kelas tiga. Tanpa terasa ujian nasional akan segera tiba di depan mata. Dan saat ini adalah saat yang tepat untuk mengukir cerita di masa putih abu-abu. Ku ketik pesan kepada bapak untuk meminta izin. Namun, sekita senyumku luntur saat mendapat pesan balasan dari bapak bahwa bapak tidak mengizinkanku. Segera aku menelepon mamak untuk meminta pembelaan. Dari seberang telepon mamak berkata, “Pergilah nak. Hati-hati di sana ya.”
            “Tapi bapak nggak ngebolehin aku pergi, mak.” Jawabku dengan suara merengek.
            “Udah tenang aja. Kan mamak udah izinkan.”
           Akhirnya dengan senyum yang mengembang aku pun pergi ke pantai bersama teman-temanku.
         Sepulangnya dari pantai aku merasa sekujur tubuhku dingin. Perutku mual. Tak berapa lama kemudian aku muntah-muntah. Kata mamak, aku masuk angin. Segera mamak memberiku obat dan air hangat. Saat sedang berbaring dengan kondisi tubuh yang lemah di kamar, bapak berdiri di ambang pintu kamarku sembari berkata, “Kan bapak udah bilang, jangan pergi ke pantai.” setelah itu bapak pergi begitu saja.
         Jika mengingat kejadian itu, sekarang aku baru paham bahwa sebenarnya bapak tidak mengizinkanku pergi karena bapak khawatir akan kesehatanku.
            Pernah suatu ketika, saat itu aku duduk di bangku kelas empat SD. Aku mendapat tugas dari guru kesenian untuk membuat terompet. Aku mengerjakan tugas itu dengan susah payah. Sebagai seorang anak kecil tentu saja sifat mudah menyerah tertanam kuat dalam diriku. Aku menangis karena terompet yang ingin ku buat tak kunjung jadi.
            Bapak menghampiriku. Ia bertanya, “Disuruh ngapain sama gurunya nak?”
            “Disuruh buat terompet pak. Tapi aku nggak bisa.” Jawabku diiringi dengan isak tangis.
            “Kita beli aja ya terompetnya.” Bapak mencoba menghiburku.
            “Memangnya ada yang jualan terompet pak? Tahun baru kan masih lama.”
            “Nanti bapak usahakan.”
            Setelah itu bapak mengeluarkan sepeda motor tua kesayangannya dari dalam garasi lalu pergi entah kemana. Yang ku tahu, begitu bapak kembali ke rumah, bapak membawa sebuah terompet dengan hiasan yang begitu cantik. Bapak menghampiriku ke kamar sembari meniup terompet tersebut.
            “Ini terompetnya. Jangan lupa di bawa ke sekolah besok ya nak.” Ucap bapak.
              Aku menerima terompet tersebut dengan penuh kegembiraan.
           Keesokan harinya, sepulang sekolah aku kembali menangis sembari memegang terompet tersebut dalam genggamanku. Bapak menghampiriku dengan wajah heran.
            “Kenapa nangis nak?”
            Aku menjawab dengan suara lantang, “Bapak kenapa ngasih tau sama bu Emma kalok bapak belikan terompet ini untuk tugas kesenianku. Tadi di sekolah aku diejek sama kawan-kawan gara-gara terompetku nggak buat sendiri.”
            Bu Emma adalah ibu dari salah seorang teman sekelasku. Rumah nenek dari bapakku dan rumah bu Emma berdekatan. Bapak pernah bercerita bahwa sebelum bapak kembali ke rumah dengan terompet tersebut, bapak bertemu dengan bu Emma. Bu Emma bertanya terompet itu beli dimana dan bapak menjawabnya. Mungkin saja setelah itu bu Emma memberi tahu anaknya supaya tidak usah susah-susah membuat terompet karena bapak telah membelikan terompet untukku.
            Bapak mencoba meredakan tangisku. Namun aku tak kunjung berhenti menangis. Akhirnya bapak berkata dengan suara rendah, “Bapak nggak tega bohong sama orang nak.”
            Saat itu juga tangisku langsung mereda meski aku masih kesal pada bapak.
            Dan sekarang aku baru mengerti bahwa saat itu bapak sedang mengajarkanku apa artinya sebuah kejujuran. Secara tidak langsung bapak ingin aku tumbuh menjadi seseorang yang jujur. Dan aku pun percaya bahwa kejujuran akan membawa kita ke tempat yang lebih baik walau hujatan dan caci akan sering kita dapatkan jika kita menanamkan sifat jujur pada diri sendiri.
            Kejadian yang begitu membekas dalam ingatanku, yang membuat aku berfikir bahwa bapak tidak menyayangiku yaitu, waktu itu aku dan adikku sedang bermain boneka barbie di rumah nenek dari bapakku. Mulanya kami bermain dengan gembira. Lalu, aku dan adikku berebut sebuah gaun boneka barbie yang menurutku begitu indah. Aku ngotot ingin mengenakan gaun itu pada boneka barbieku sedangkan adikku ngotot agar gaun itu dikenakan oleh boneka barbienya. Kami saling tarik-menarik gaun tersebut. Akhirnya gaun itu robek dan adikku pun menangis.
Tak lama kemudian bapak pulang dari ladang guna mencari rumput untuk lembu peliharaannya yang memang ditempatkan dirumah nenek. Saat mengetahui adikku menangis karena aku, emosi bapak memuncak. Ia mengayunkan rumput gajah yang tajam dan berukuran besar kearahku. Aku meringkuk ketakutan. Sedangkan mamak dan nenekku menjerit melihat hal tersebut.
Kenyataannya bapak tidak mengayunkan rumput gajah tersebut ke tubuhku. Melainkan ke sebuah kursi kayu di dekatku. Aku membuka mata. Kulihat wajah bapak memerah karena amarah.
“Kau itu kakak dari adekmu, Tara! Kenapa untuk sekedar ngalah sama adekmu aja susah kali bagi kau, hah?” Tukas bapak dengan suara yang keras.
Setelah itu bapak pergi dengan sepeda motor tuanya entah kemana.
Aku menangis dalam pelukan mamakku sembari berteriak-teriak, “Bapak nggak sayang aku mak! Bapak nggak sayang aku!”
Dan sekarang aku baru paham bahwa saat itu bapak sedang mengajarkanku untuk tidak bersikap egois pada siapapun termasuk pada adik perempuanku satu-satunya itu.
Orang-orang egois merasa bahwa mereka telah menakhlukan dunia. Padahal mereka adalah budak dunia.
Dering ponsel membuyarkan lamunanku akan kisah-kisah yang pernah kulalui bersama bapak. Sebuah pesan baru saja kuterima. Segera kubuka pesan tersebut. Ternyata pesan itu dari adikku.

Kak, kapan pulang? Minggu depan bapak ulang tahun loh.

Ya, sebentar lagi bapakku akan berulang tahun. Tepatnya tanggal 28 Maret. Kesedihan menyelinap masuk ke hatiku saat menyadari bahwa pada tanggal itu aku tidak bisa pulang ke kampung karena aku harus mengikuti ujian tengah semester. Kalaupun ku beritahu hal tersebut pada bapak, pasti bapak memakluminya. Biarlah aku dan bapak bertemu hanya dalam doa.
Selamat ulang tahun, bapak! Sampai kapanpun kau tetap menjadi pria nomor satu dihatiku.
***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

[CERPEN] Nostalgia Lebaran (Dimuat di Koran Waspada, Minggu 8 Juli 2018)

[CERPEN] "Merah Putih di Atas Api" Dimuat di Koran Waspada Minggu, 13 Agustus 2017

[CERPEN ANAK] Terima Kasih Guruku (Dimuat di Rubrik Taman Riang Koran Analisa, Minggu 27 November 2016)