[CERPEN] Jerat Kedua (Dimuat Di Koran Waspada, Minggu 10 Maret 2019)





Jerat Kedua
Cerpen : Feby Farayola




            “Jika patah hati adalah sebuah jerat, apakah kau akan memilih untuk tidak jatuh cinta lagi?”
            Di luar, hujan masih turun dengan deras. Dan gadis itu belum juga lelah melayangkan banyak pertayaan pada seorang laki-laki yang duduk di hadapannya sambil menyeruput segelas kopi.
            Senja merangkak ke tubuh malam. Namun hari ini senja berlalu tanpa semburat orange yang membalut langit. Untungnya, sebelum semesta menangis, dua insan itu sudah tiba terlebih dulu di kafe tersebut. Mulanya mereka hendak pergi ke salah satu taman kota yang ada di kota ini. Di sana terdapat banyak lapak yang menjual buku-buku bekas. Tetapi karena mereka tidak menemukan buku yang dicari dan mega mendung juga telah mengepul di atas sana, mereka memutuskan untuk beranjak.
            “Apa korelasi antara patah hati dan jatuh cinta?” Laki-laki berwajah awan itu bertanya. Maksudnya, ia memiliki wajah yang teduh seperti awan.
            “Seseorang pernah berkata padaku, kalau kau berani jatuh cinta, kau juga harus berani patah hati.” Gadis berwajah purnama itu menyahut. Ya, ia memiliki wajah yang bulat seperti bulan purnama.
            “Segala yang patah dapat diperbaiki.” Laki-laki itu mulai membalik cover sebuah buku yang tadi diambilnya dari satu diantara banyak rak yang berjejer di sudut kafe. “Seperti sebuah kalimat yang dituliskan di buku ini “Segala yang patah dapat diperbaiki. Kecuali sebuah kepercayaan” maka patah hati tidak akan membuatku mengikat hati untuk tidak jatuh cinta lagi,” lanjut laki-laki itu panjang lebar sambil menunjukkan sebuah buku dalam genggamannya. Di matanya, gadis itu melihat keraguan.
            “Kau sudah pernah membaca buku itu?” tanya sang gadis yang dibalas dengan satu anggukan dari laki-laki tersebut.
            “Bacalah.” Laki-laki itu menjulurkan sebuah buku berjudul Kutukan Patah Hati pada gadis di hadapannya.
            “Judul yang menarik,” ucap gadis tersebut sambil tersenyum tipis.
            Sepertinya buku, kopi, dan hujan adalah komponen yang diracik dengan sempurna oleh semesta untuk mempertemukan mereka. Berawal dari suatu sore di sebuah lapak yang menjual buku bekas, keduanya bertemu dan terlibat obrolan karena sedang mencari buku yang sama.
            Dan semesta telah merancang pertemuan itu dengan sedemikian rupa. Tiba-tiba hujan turun dengan derasnya. Lalu mereka memilih berteduh pada sebuah warung tenda terdekat. Ditemani kopi, sebuah pebincangan mengalir begitu saja. Tentang kecintaan masing-masing terhadap buku, tentang hidup, tentang masa-masa mengerjakan skripsi yang semakin penuh tekanan, dan tentang kelapangan hati dalam menerima ketetapan takdir. Obrolan panjang itu diakhiri dengan saling bertukar kontak dan sebuah janji. Bahwasanya esok lusa mereka harus kembali meramu sebuah temu.
            Pertemuan yang sederhana itu berlanjut menjadi suatu rutinitas berupa saling bertukar kabar dan bertukar cerita lewat telepon genggam mengenai apa saja yang terjadi hari ini, hal-hal menyebalkan apa saja yang membuat isi kepala dijejali penat, dan banyak hal lainnya. Diam-diam keduanya saling merindukan. Maka bukan perkara mustahil untuk kembali meramu temu perihal mematahkan rindu. Pertanyaannya, apakah perasaan semacam itu hanya sekedar kesenngan sesaat sebab masing-masing mereka menemukan teman berbincang yang menyenangkan? Tidak. Ternyata urusan perasaan yang telah tumbuh di antara mereka tidak sesederhana itu.
            Namun, keduanya tidak saling bergerak agar perasaan itu mengarungi lautan harap yang selalu disemogakan agar kelak berlabuh pada dermaga akhir dari segala pencarian. Sebagai perempuan, gadis itu tidak bernyali untuk memulai. Ia memegang dengan erat sebuah idelaisme bahwa takdir seorang perempuan adalah menanti bukan menghampiri. Sementara laki-laki itu masih dihantui bayang-bayang masa lalu. Tetapi di sisi lain, dirinya juga tidak ingin menjadi seorang pengecut yang gagal membunuh hantu yang bernama masa lalu itu. Maka suatu ketika, ia memutuskan untuk membuka cerita masa lalunya pada gadis itu berharap dirinya akan mengerti.
            “Ku pikir laki-laki adalah makhluk yang paling mudah melupakan masa lalu,” ucap gadis tersebut usai ia mendengar cerita mengenai masa yang telah berlalu milik laki-laki yang beberapa bulan belakangan ini mengubah abu-abunya menjadi warna-warni.
            “Laki-laki juga punya hati dan bisa patah hati,” sahut laki-laki itu.
            Gadis itu tersenyum getir. Ternyata ini adalah tentang masa lalu yang tak kunjung terlupakan oleh laki-laki tersebut. Lalu selama ini apa arti dirinya? Bodohnya dirinya yang tidak menyadari bahwa ia hanya tempat bagi laki-laki itu untuk berbagi cerita. Tidak lebih.
            “Ayo pulang. Aku lelah.” Gadis itu berdiri dari duduknya sambil membersihkan rumput yang menempel pada celana jeans yang dikenakannya.
            Semenjak hari itu, tiada lagi percakapan secara langsung ataupun pesan singkat yang biasanya meramaikan telepon genggam masing-masing mereka dalam waktu yang cukup lama. Sampai pada pagi tadi, tiba-tiba laki-laki itu mengirimkan pesan pada gadis tersebut berupa ajakan untuk mengunjungi lapak buku bekas yang sudah lama tidak mereka kunjungi bersama-sama. Dan hujan membawa mereka kembali ke kafe ini.
            Setelah hening yang cukup panjang tiba-tiba laki-laki itu berkata, “Ayo lupakan apa yang seharusnya dilupakan.”
            “Apa maksudmu?” tanya gadis itu dengan tatapan heran.
            “Semua yang berlalu, termasuk sikapku kemarin, aku mohon lupakan saja. Sekarang, mari menyusun kisah baru dengan aku dan kau sebagai tokoh utamanya.”
            Tiada ada raut bahagia ataupun duka di wajah gadis itu. Ia bungkam dengan wajah datar. Secangkir kopi yang ia teguk rasanya semakin pahit dan hujan di luar sana turun semakin deras. Ada sesuatu yang mencubit hatinya saat itu. Tentu saja rasanya sakit. Tetapi rasa sakit itu bukan masalah baginya. Sebab ia sudah terbiasa bertemankan dengan hal semacam itu. Namun, kebimbangan lah yang membuat sikapnya menjadi seperti sekarang.
            “Kenapa? Kau tidak mau?” terka laki-laki itu.
            Gadis itu masih belum bereaksi. Sesaat kemudian ia memanggil waiters untuk meminta bill.
            “Ku mohon jangan diam saja, Jani. Katakan mau jika kau mau, katakan tidak jika kau tidak mau.” Laki-laki itu memasang wajah memelas. Ah, ingatannya terbang pada kenangan beberapa tahun silam ketika ia sedang melakukan hal yang sama. Yaitu memohon agar seseorang tetap tinggal di sisinya.
            “Terkadang kita harus mengerti arti kehilangan terlebih dahulu sebelum menyadari seberapa berartinya kehadiran seseorang dalam hidup kita,” Jani menghembuskan nafas berat, “jaga dirimu baik-baik Raka.” Kali ini tatapan heran dilayangkan oleh laki-laki yang bernama Raka itu pada sosok Jani.
            “Apa maksudmu?”
            Tanpa menjawab pertanyaan Raka, Jani mengeluarkan dua buah kertas dari dalam tasnya dan menyerahkannya pada Raka. Ternyata itu adalah dua buah undangan. Tapi undangan apa?
            “Minggu depan aku wisuda.”
            “Lalu?”
            Hening sejenak.
            “Bulan depan aku akan menikah.”
            Cukup. Jawaban Jani sudah cukup untuk menjelaskan segalanya. Sudah cukup juga untuk menjelaskan akhir dari kisah ini. Kisah yang berakhir tentang seorang laki-laki yang terbelenggu dalam jerat patah hati untuk yang kedua kalinya dan seorang gadis yang menjemput bahagia sembari berusaha menyusun keeping-keping hatinya yang patah perihal harapan yang tak bersambut.
            ***
                                              
           

Komentar

Postingan populer dari blog ini

[CERPEN] Nostalgia Lebaran (Dimuat di Koran Waspada, Minggu 8 Juli 2018)

[CERPEN] "Merah Putih di Atas Api" Dimuat di Koran Waspada Minggu, 13 Agustus 2017

[CERPEN ANAK] Terima Kasih Guruku (Dimuat di Rubrik Taman Riang Koran Analisa, Minggu 27 November 2016)