[CERPEN] Matahari Di Malam Hari (Dimuat di Koran Waspada, Minggu 17 Februari 2019)
Matahari
Di Malam Hari
Cerpen : Feby Farayola
Bahkan orang buta sekalipun mengerti
bahwa matahari hanya bersinar pada pagi hingga sore hari. Ketika senja beranjak
pulang, saat itulah bulan dan bintang-bintang menggantikan perannya menerangi
bumi. Namun gadis kecil itu bersi keras bahwa matahari juga bersinar pada malam
hari. Bahkan gadis kecil itu mengaku bahwa ia dapat melihat matahari yang ajaib
tersebut. Ia tidak perduli dengan tatapan aneh yang dilemparkan semua orang
padanya karena pengakuannya tersebut. Baginya, mereka hanyalah orang-orang
malang yang tidak beruntung sebab tidak dapat melihat matahari di malam hari
tersebut seperti dirinya.
“Mungkin matahari yang ia maksud
adalah bulan. Bukankah matahari dan bulan sama-sama berbentuk bulat?”
“Aku tidak sebodoh itu! Matahari dan
bulan jelas berbeda meski sama-sama berbentuk bulat.” Gadis kecil itu menyergah
omongan salah seorang warga kampung saat dirinya sedang menemani ibunya berbelanja
bahan masakan di pasar.
“Sudah, tidak usah ditanggapi.
Percuma berbicara dengan orang yang kehilangan kewarasannya,” ucap seorang
warga kampung yang lain.
“Hey! Aku dengar apa yang kalian
katakan.” Gadis kecil itu meneriaki dua orang warga kampung yang tadi
membicarakan dirinya. Meski umpatan dan caci maki adalah makanannya
sehari-hari, gadis kecil itu tak gentar mempercayai apa yang selama ini ia
percayai. Bahwasanya matahari juga bersinar pada malam hari.
Gadis kecil itu bernama Sandra.
Baginya, matahari pada malam hari itu sangat spesial. Ingatan Sandra terbang
pada saat-saat di mana cahaya matahari pada malam hari itu membawanya
berpetualangan ke dimensi waktu yang sangat ingin ia datangi.
Suatu malam, cahaya matahari pada
malam hari itu membawanya pergi ke tempat yang sangat menakjubkan. Di tempat
tersebut banyak terdapat pepohonan yang tidak biasa. Seperti pohon berdaun permen
harum manis, sungai karamel, bebatuan yang rasanya manis seperti lollipop, dan
lain sebagainya. Di sana juga terdapat macam-macam wahana permainan yang bebas
dicoba oleh Sandra tanpa takut berebut dengan teman-temannya seperti di
sekolah. Tetapi, lagi-lagi yang Sandra dapatkan adalah umpatan caci maki dan
tatapan aneh dari semua orang saat dirinya menceritakan hal tersebut.
“Aku tidak berbohong,” ucap Sandra
pada teman-temannya saat ia usai bermain lompat karet di sebuah tanah lapang
yang terletak di ujung kampung tersebut.
“Sandra! Ayo pulang.” Tiba-tiba
ibunya datang sambil marah-marah. “Berhenti membuat keluarga kita malu dengan
semua cerita-cerita aneh itu.”
Sandra berontak. Ia tidak suka saat
ibunya berbicara seperti tadi. Sebab semua yang keluar dari bibirnya adalah
kenyataan. Saat-saat seperti ini, satu-satunya cara yang dapat dilakukan ibunya
agar Sandra diam dan menurut saat diajak pulang adalah dengan memukulinya. Tanpa
perduli dengan rintihan dan isak tangis gadis kecil itu. Hukuman berupa
kurungan di dalam kamar telah menantinya setibanya ia dan ibunya di rumah.
“Apa sebaiknya anak itu kita
masukkan ke dalam rumah sakit jiwa saja?” gumam wanita paruh baya itu pada seorang
pria yang duduk di sebelahnya.
“Itu ide yang bagus. Tapi biayanya
tidak murah,” sahut pria tersebut.
Keduanya larut dalam pikiran
masing-masing. Sama-sama sibuk memikirkan bagaimana menghadapi Sandra yang
semakin hari semakin aneh saja. Mereka adalah orang tua Sandra. Orang tua tiri
tepatnya. Ibu kandungnya meregang nyawa saat melahirkannya. Saat Sandra berusia
tiga tahun, ayahnya yang seorang pedagang sembako sukses di kampung itu menikah
lagi. Selang beberapa tahun kemudian, ayah kandungnya tewas saat mengantarkan
barang dagangan di pulau sebrang dengan meninggalkan harta yang berlimpah.
Tanpa pikir panjang, ibu tirinya menikah lagi dengan seorang pria yang usianya
jauh lebih muda darinya.
Mulanya kehidupan mereka
berkecukupan. Sebab harta peninggalan kedua orang tua kandung Sandra berlimpah.
Sandra yang masih kecilpun tidak kekurangan kasih sayang meski kini dirinya
tinggal bersama orang tua tiri. Namun, saat waktu semakin menua, harta
peninggalan kedua orang tua Sandra semakin menipis. Sebab kedua orang tua
tirinya hanya mampu berfoya-foya, malas bekerja, dan menerapkan pola hidup
mewah.
Sejak saat itu dunia Sandra mulai
berubah. Dimulai dari perubahan sikap kedua orang tua tirinya, lalu
perubahan-perubahan yang lain mulai berdatangan satu persatu. Perubahan
tersebut membawa efek yang begitu signifikan dalam hidup Sandra serta
mengundang kesedihan yang tiada terkira terhadapnya.
Di tengah kesedihan yang tiada
terbendung, Sandra melihat matahari itu. Matahari yang bersinar sangat terang
pada malam hari. Matahari itu muncul dari dalam kamar Sandra. Mulanya matahari
tersebut bersinar redup. Semakin lama, cahayanya semakin terang. Sandra
menghapus sisa air mata di wajahnya sambil mengikuti arah perginya matahari itu
yang kini bersinar dengan cerah di atas langit rumahnya.
Sandra kegirangan sambil menari-nari
di bawah cahaya matahari di malam hari tersebut. Sentuhan cahayanya seolah
mengusir kesedihan dalam hatinya. Penat di dadanya terasa lapang. Gigilnya
kerinduan terhadap kedua orang tuanya kandungnya seketika menghangat. Semenjak
malam itu, Sandra selalu menantikan saat-saat matahari di malam hari itu
muncul. Saat matahari itu muncul, Sandra akan menari-nari di bawah cahayanya
yang terang sambil tertawa lepas. Seolah hidupnya adalah tentang bahagia yang
utuh.
Mulanya kedua orang tua tirinya
tidak memperdulikan hal tersebut. Tetapi, ketika bisik-bisik tetangga mulai
bersahut-sahutan, amarah kedua orang tua tirinya mulai tersulut. Mereka tak
segan-segan mencubit, memukul, dan menyakiti Sandra ketika gadis kecil itu
membangkang saat diperintahkan untuk berhenti melakukan hal aneh tersebut.
Suatu hari, langit malam itu tidak
ada apa-apa selain mega mendung dan kilat petir yang menggelegar. Semesta
menemani Sandra menangisi nasibnya yang menyedihkan. Dalam hati Sandra terus
berdoa agar matahari malam hari itu segera datang bersama dengan cahayanya yang
menghapus semua dukanya. Sandra bersandar di balik pintu kamarnya yang terkunci
sambil berlinang air mata. Beberapa hari belakangan kedua orang tua tirinya
memang selalu menguncinya saat malam hari karena tidak ingin melihat gadis
kecil itu bertingkah aneh lagi. Sebab mereka sudah muak dengan bisik-bisik
tetangga terhadap tingkah aneh Sandra.
Akhirnya saat yang dinantikan tiba.
Matahari itu muncul dari bawah tempat tidur Sandra dengan cahaya redup. Semakin
lama cahayanya semakin terang seiring dengan bergeraknya matahari itu menuju
luar melalui jendela kamar Sandra. Gadis kecil itu mengikutinya. Benar juga.
Jendela kamarnya kan tidak dikunci. Ia dapat menari dibawah sinar matahari
malam hari itu sepuasnya di luar sana. Dengan gerakan cekatan Sandra melompat
keluar melalui jendela kamarnya. Setibanya di luar, ia mendapati cahaya
matahari malam hari tersebut berubah menjadi sosok ayah dan ibu kandungnya.
“Ayah? Ibu?” lirih Sandra dengan
mata berbinar.
Kedua sosok tersebut tersenyum
sambil mengulurkan tangan mereka pada Sandra, seolah memberi isyarat agar
Sandra mendekat pada mereka. Tanpa pikir panjang Sandra berhambur ke dalam
pelukan kedua orang tua kandungnya. Rasanya begitu hangat dan menenangkan.
Sesaat kemudian kedua sosok itu bergerak menjauh. Dengan sigap Sandra kembali
berhambur ke dalam pelukan mereka.
“Sandra ikut.”
Kedua sosok tersebut tersenyum.
Kemudian tubuh Sandra ikut bercahaya. Dan akhirnya Sandra pergi bersama kedua
sosok tersebut ke tempat yang selama ini selalu diceritakannya kepada
orang-orang selamanya.
***
Keesokan harinya, kampung itu
dihebohkan dengan penemuan sosok mayat gadis kecil yang tak lain adalah Sandra
dengan tubuh membiru di pekarangan rumahnya. Mengetahui hal tersebut kedua
orang tua tiri Sandra lega sekaligus panik. Lega karena akhirnya Sandra pergi
dari hidup mereka. Dan panik melihat beberapa polisi yang telah menanti di
depan pintu gerbang rumah tersebut. Apa nanti yang harus mereka katakan pada
polisi-polisi tersebut?
***
Komentar
Posting Komentar