[CERPEN] Satu Tubuh (Dimuat di Koran Waspada, Minggu 18 Agustus 2019)







Satu Tubuh
Cerpen : Feby Farayola



            Langit senja dan lantunan adzan magrib melatari pertemuan dua orang gadis di depan sebuah mesjid. Gadis yang mengenakan kerudung berwarna biru melemparkan tatapan teduhnya yang penuh kerinduan pada gadis yang satu lagi. Sedangkan yang ditatap hanya menunduk tanpa memiliki keberanian untuk balas menatap gadis di hadapannya.
            “Zulaikha?” Gadis berjilbab biru itu menyentuh ujung dagu gadis di hadapannya agar tidak menunduk terus-menerus. Namun nampaknya ia enggan mengangkat kepala. “Baiklah, sebaiknya kita menunaikan kewajiban kita sebagai seorang hamba terlebih dahulu.”
            Kedua gadis itupun masuk ke dalam mesjid tersebut diiringi lirikan tajam dari jamaah sholat magrib yang lain. Bukan, sebenarnya lirikan tajam itu tidak ditujukan pada sang gadis berjilbab biru. Melainkan pada Zulaikha, yaitu gadis yang satunya lagi.
            “Pakai mukenah ini. Supaya auratmu tidak menjadi pusat perhatian mereka.” Zulaikha menerima mukenah dari gadis berjilbab biru tersebut dengan tangan gemetar. Masih pantaskah ia? Seiring dengan takbir yang dikumandangkan imam sholat magrib berjamaah pada waktu itu, air mata Zulaikha menetes.
            ***
            “Firdaus, kamu baik-baik saja?” Zulaikha menggoyang-goyangkan lengan gadis berjilbab biru tadi dengan gusar. Gadis itu tampak sedang berada di puncak emosinya. “Firdaus! Katakan sesuatu.”
            “Seandainya kita dipertemukan lebih cepat!” ucap gadis berjilbab biru yang bernama Firdaus itu. Sesaat kemudian ia menghembuskan napas panjang, “Astaghfirullah. Maaf. Aku terbawa emosi,” ucapnya sambil mengelus dada.
            “Kira-kira begitulah ceritanya,” Zulaikha menutup ceritanya dengan senyum getir.
            Beberapa tahun sudah berlalu semenjak mereka menamatkan jenjang sekolah menengah atas di pesantren dekat kampung tempat mereka tinggal dulu. Mimpi, impian, dan cita-cita membawa mereka menrantau di tempat yang berbeda. Sudah menjadi kehendak takdir, hari kelulusan pada waktu itu adalah hari terakhir mereka bertemu hingga detik ini.
Sebelum waktu membawa mereka mengembara pada rimba kehidupan dengan jarak yang berjauhan, kedua gadis bersahabat itu sempat berikrar bahwa mereka akan berusaha sekuat tenaga meraih satu hal yang sama-sama menjadi impian bagi mereka masing-masing. Yaitu menjadi aktivis dakwah yang akan membumikan ajaran agama islam dengan sebaik-baiknya. Selain itu, hal yang sama-sama menjadi impian mereka yaitu memperjuangkan hak-hak perempuan. Mengingat dahulu begitu banyak hal-hal yang tidak menyenangkan yang dialami oleh kaum perempuan yang disaksikan oleh mata kepala mereka sendiri.
            “Kakak perempuanku menjadi korban KDRT!” adu Firdaus sambil menangis sesegukan di hadapan Zulaikha pada waktu itu. Sebisa mungkin Zulaikha menenangkan sahabatnya.
            “Mengapa tidak menggugat cerai saja?” Zulaikha bertanya dengan hati-hati.
            “Tidak bisa. Kakakku memikirkan nasib anak-anaknya,” jawab Firdaus dengan sesegukan.
            Dilain kesempatan giliran Zulaikha yang bercerita pada Firdaus bahwa saat ia baru saja pulang ke rumahnya saat liburan semester kemarin, tetangganya menjadi korban kekerasan seksual oleh kekasihnya sendiri. Dan lagi-lagi, keadilan tidak didapatkan sebab keluarga pelaku menyarankan untuk berdamai.
            “Bukankah islam memuliakan perempuan? Namun mengapa masih saja ada laki-laki dengan kelakuan seperti itu?” ucap Zulaikha. Sembari menunggu adzan magrib di mesjid yang ada di pesantren tersebut, kedua gadis bersahabat itu mengobrol ringan.
            “Kamu tidak ingat apa kata ustadzah Istiqomah? Islam adalah agama yang sempurna. Yang tidak sempurna adalah umatnya,” sahut Firdaus.
            Berawal dari percakapan waktu itu, mereka membangun impian. Suatu saat nanti, tidak akan ada lagi kaum perempuan yang tertindas oleh apapun dan siapapun. Dan suatu saat nanti, islam akan menyempurnakan ketidak sempurnaan pemeluknya. Namun, mereka melupakan satu hal. Tidak ada manusia yang sempurna di muka bumi ini. Kesempurnaan adalah milik tuhan.
            Sekian lama setelah berpisah, kedua gadis bersahabat itu dipertemukan di depan sebuah masjid yang ada di ibu kota dengan keadaan berbeda. Firdaus dengan pakaian syar’i-nya sedangkan Zulaikha dengan pakaian minimnya. Tentu saja Firdaus terkejut dengan perubahan yang ada pada sahabatnya itu. Namun kerinduan menutupi rasa keterkejutannya.
            Selepas menunaikan sholat magrib berjamaah, mereka memutuskan untuk bertukar cerita pada sebuah cafe yang letaknya tidak jauh dari mesjid tersebut. Disanalah semuanya menjadi jelas. Bahwa Zulaikha dengan segala ketidak berdayaannya pernah menjadi salah satu korban pelecahan itu sendiri. Ia sempat melawan dengan segala upaya. Namun, lagi-lagi ia harus menerima pahitnya kenyataan bahwa ternyata keadilan itu masih mustahil baginya.
            Ia marah pada semesta, pada keadaan, pada semua orang, terlebih pada dirinya sendiri. Kemarahan itu menuntunnya menjadi dekat dengan kegelapan dan jauh dari tuhan. Namun sebagai seorang hamba, kerinduan pada sang maha pencipta itu pasti ada. Maka magrib tadi langkahnya menuntunnya ke sebuah mesjid dan ternyata di sana ia dipertemukan dengan sahabat lamanya.
            “Sahabatku, aku akan membantu kamu kembali ke jalan allah,” ucap Firdaus.
            “Apa aku masih pantas? Apa tuhan akan mengampuniku?” Zulaikha berlinang air mata.
            “Hey, apa kamu lupa? Allah itu maha pengampun.”
            “Kenapa kamu masih mau perduli pada manusia hina sepertiku Firdaus? Lihatlah sekarang kita jauh berbeda bukan?”
            “Astaghfirullah Zulaikha. Apa kamu juga lupa bahwa hina dan mulia adalah hak allah untuk menilai?”
            Zulaikha bungkam dengan air mata yang terus mengalir.
            “Dan apakah kamu juga lupa dengan hadis riwayat muslim yang menjadi salah satu hadis kegemaran kita dulu? Bahwasanya: Perumpamaan kaum mukmin dalam sikap saling mencintai, mengasihi dan menyayangi, seumpama tubuh, jika satu anggota tubuh sakit, maka anggota tubuh yang lain akan susah tidur atau merasakan demam. Tidakkah kamu ingat?”
            Air mata Zulaikha mulai mereda. Malam itu ia memutuskan untuk tinggal di rumah kontrakan sahabatnya yaitu Firdaus. Firdaus paham, bahwa pertemuannya dengan Zulaikha adalah salah satu cara allah mewujudkannya menjadi seorang pendakwah agar islam selalu hidup dalam hati umatnya. Maka, dengan sabar dan lembut ia kembali membawa sahabatnya ke jalan allah.
            Namun, di hari ketujuh pada sebuah jum’at yang mendung, duka itu turun bagai hujan. Zulaikha berpulang dan meninggalkan sepucuk surat bahwasanya penyakit terkutuk yang datang dari dunia gelap itu telah menggerogoti tubuhnya. Namun ia senang karena diakhir hidupnya ia dapat kembali ke jalan allah meski dirinya tak lagi utuh.
            Di depan makam Zulaikha, Firdaus berbisik lirih, “Kita ini satu tubuh. Jika kamu merasa sakit, aku juga merasakan sakitnya. Beristirahatlah dengan tenang sahabatku. Semoga khusnul khotimah berhasil kau dapatkan.”
            ***
                               

Komentar

Postingan populer dari blog ini

[CERPEN] Nostalgia Lebaran (Dimuat di Koran Waspada, Minggu 8 Juli 2018)

[CERPEN] "Merah Putih di Atas Api" Dimuat di Koran Waspada Minggu, 13 Agustus 2017

[CERPEN ANAK] Terima Kasih Guruku (Dimuat di Rubrik Taman Riang Koran Analisa, Minggu 27 November 2016)