[Cerpen] Air Mata Terakhir (Dimuat di Koran Pikiran Rakyat, Minggu 26 Agustus 2018)
Sumber Gambar : Kliping Sastra |
Air
Mata Terakhir
Oleh : Feby Farayola
Laki-laki itu pernah berkata padaku bahwa
dirinya tidak akan bisa menangis lagi. Sebab pasokan air matanya telah habis.
Dalam hidupnya di kemudian hari nanti hanya akan ada bahagia. Ia tampak begitu
yakin saat mengatakan hal tersebut.
“Bagaimana caramu menghabiskan air
mata itu?” tanyaku padanya suatu ketika.
Laki-laki itu terdiam. Bukannya menjawab
pertanyaanku, ia malah mengalihkan pembicaraan. Kalau sudah begini, jangan
harap pertanyaanku barusan akan mendapat jawaban. Ini bukan kali pertama aku
menanyakan hal tersebut. Tetapi, hingga detik ini hal tersebut masih berupa
tanda tanya.
Sudah lebih dari seribu malam aku
menjalin kasih dengan laki-laki itu. Banyak hal yang telah ku ketahui mengenai
dirinya. Begitupun sebaliknya. Sejauh ini tidak ada hal yang aku sembunyikan.
Tetapi tidak dengan laki-laki itu. Ia masih menyembunyikan beberapa hal. Tentu
saja aku ingin mengetahui hal-hal yang disembunyikannya. Namun aku tidak ingin
mengetahuinya dengan cara memaksa. Terakhir kali aku memaksanya menceritakan
hal-hal tersebut, kami bertengkar hebat. Bahkan perpisahan nyaris menghampiri.
Sejak saat itu aku memutuskan untuk tidak mendewakan rasa penasaranku. Biarlah
aku mengetahui segala tentangnya seiring berjalannya waktu.
Ada satu hal yang menjadi kebiasaan
bagi laki-laki itu. Yaitu, ke manapun kami pergi dalam perjalanan pulang ia
selalu membeli bakso bakar. Mulanya aku mengira bahwa lelakiku ini pecinta
berat bakso bakar. Namun perkiraanku terpatahkan ketika aku mengetahui bahwa ia
tidak terlalu menyukai jenis makanan yang satu ini. Lalu mengapa ia selalu
membelinya setiap kami pulang dari suatu tempat?
Saat ini kami saja pulang dari acara
pernikahan putri bos di tempat lelakiku itu bekerja. Dalam perjalanan pulang ia
melihat seorang pedagang bakso bakar yang sedang terkantuk-kantuk menunggu
pembeli. Tanpa pikir panjang lelakiku itu segera memarkirkan sepeda motornya di
dekat gerobak pedagang bakso bakar tersebut dan memesan dua puluh tusuk bakso
bakar. Masing-masing kami menghabiskan sepeuluh tusuk. Usai menyantap tusukan
terakhir lelakiku itu mengajakku kembali melanjutkan perjalanan pulang sebab
bulan dan bintang-bintang telah diselimuti oleh mega mendung.
Aku mengenal lelakiku itu ketika
kami sama-sama duduk di bangku kuliah. Perpustakaan adalah saksi bisu atas
pertemuan pertama kami. Bermula dari kegemara yang sama yaitu membaca buku,
perkenalan kami berlanjut. Seiring waktu berlalu kami lebih sering menghabiskan
waktu bersama dan tanpa sadar perasaan yang disebut-sebut sebagai anugerah
terindah itu mulai tumbuh.
Sejauh ini, banyak hal yang telah
kami lalui bersama. Kami pernah terjatuh dalam duka. Namun lelakiku itu selalu
tahu bagaimana cara mengubah duka menjadi bahagia. Lelakiku itu juga
mengajariku bahwa dalam hidup kita tidak perlu memandang ke masa lalu. Sebab
baginya, masa lalu hanya akan menggali kembali luka.
“Sayang, pasti masa lalu yang kamu
lewati berat sekali, ya?” tanyaku ketika kami merayakan hari dimana lelakiku itu
akhirnya diterima bekerja di sebuah bank yang ada di kota ini. Kami
merayakannya dengan 50 tusuk bakso bakar dan dua gelas es teh di beranda
rumahku.
“Ya, begitulah.” Tiba-tiba wajah
lelakiku itu berubah muram. “Ngomong-ngomong soal masa lalu, aku jadi teringat
ayahku.”
Lelakiku itu pernah bercerita bahwa
ayahnya sudah lama meninggal. Sakit jantung adalah penyebabnya. Selain ayahnya,
ia tidak punya siapa-siapa lagi. Tetapi hal tersebut tidak membuat semangat
hidupnya pupus.
“Bukankah sekarang aku telah
memilikimu?” ucapnya pada waktu itu. Sebuah ucapan yang mampu membuat rona
merah jambu menghias kedua pipiku. “Malam itu aku dan ayah menghabiskan air
mata kami hingga tetesan terakhir. Sehingga aku dan ayah tidak punya air mata
lagi untuk diteteskan. Dan kami tidak bisa menangis lagi.”
“Bahkan ketika ayahmu meninggal, kamu
tetap tidak meneteskan air mata?”
Lelakiku itu menggeleng.
***
“Malam ini aku ingin mengajakmu ke
suatu tempat,” ucap lelakiku sambil menoleh menatapku sejenak yang berada di
atas boncengan sepeda motor yang dikendarainya.
Saat ini kami sedang dalam
perjalanan pulang menuju rumahku sehabis membeli kebutuhan bulanan di
supermarket terdekat. Di atas langit sana, bulan dan bintang-bintang
berlomba-lomba mengusir pekatnya malam.
“Ke mana? Ke gerobak tukang bakso
bakar?”
Lelakiku itu tertawa kecil.
“Bukan. Lihat saja nanti.”
Sepeda motor itu melaju semakin
cepat memasuki daerah yang semakin sunyi dan gelap. Suasana di tempat ini
terasa menakutkan. Pohon-pohon besar berbaris di ruas kanan dan kiri jalan.
Tiada penerangan lain selain lampu depan sepeda motor yang kami kendarai. Suara
burung hantu bersahut-sahutan bagai irama kematian.
“Kita mau ke mana? Aku takut,”
ucapku dengan suara gemetar.
“Jangan takut. Aku di sini.”
Sepeda motor itu berhenti di sebuah
pemakaman. Lelakiku itu menyuruhku turun dari atas sepeda motornya. Dalam gelapnya
malam, kami berjalan diantara makam-makan tua. Aku memegang tangannya dengan
erat. Berharap rasa takut yang kurasakan menguap begitu saja. Dan nyatanya
lelakiku itu selalu mempunyai cara yang tidak pernah tidak aku sukai untuk
menenangkanku.
“Selama aku di sini tidak akan ada
yang menyakitimu meskipun mayat-mayat dalam kuburan ini bangkit,” ucapnya
sambil mengelus rambut ikalku. Sempat-sempatnya ia merayuku disaat seperti ini.
Langkah kami terhenti di depan
sebuah makam. Lelakiku itu melepaskan genggamannya padaku lalu jongkok di
hadapan makam tersebut. Kesedihan menguar begitu saja di wajahnya. Tidak pernah
sebelumnya aku melihat wajah lelakiku itu sesedih ini. Aku ikut jongkok di
sebelahnya dan membaca nama seorang laki-laki yang terpahat di batu nisan makam
tersebut beserta tanggal lahir dan wafatnya.
“Apakah ini makam ayahmu?” tanyaku.
Lelakiku itu mengangguk. Dan tanpa
ku minta cerita tentang air mata terakhir itu mengalir begitu saja dari
bibirnya. Bahwasanya dulu lelaki itu dan ayahnya ditinggalkan begitu saja oleh
ibunya sebab roda dunia yang semula menempatkan mereka di posisi atas berganti
menjadi bawah. Ibunya tidak bisa menerima keadaan tersebut sehingga wanita itu
lebih memilih pergi bersama laki-laki lain. Untuk menyambung hidup, ayah dari
lelakiku itu beralih perofesi menjadi seorang pedagang bakso bakar.
Di suatu malam, ketika bakso bakar
dagangan ayah dari lelakiku itu belum terjual walau satu tusukpun seorang
preman datang mengobrak-abrik gerobak dagangan mereka. Kesal karena tidak
berhasil merampas uang hasil dagangan, preman tersebut menusukkan belati ke
perut ayah dari lelakiku itu hingga meregang nyawa. Malam itu, mereka menghabiskan
air mata masing-masing dan berikrar bahwa sepahit apapun hidup tidak akan ada
celah bagi air mata untuk singgah di wajah mereka.
Malam semakin larut. Kami memutuskan
untuk segera pulang. Terlebih sepertinya mega mendung telah berkumpul menjadi
satu di atas langit sana. Di sepanjang perjalanan pulang kami asyik bercerita
mengenai rencana pernikahan yang akan dilangsungkan bulan depan. Ah, akhirnya
sesuatu yang selalu ku semogalan dalam doa akan segera menjadi nyata.
Tanpa sadar, sebuah bus berkecepatan
tinggi melaju ke arah kami. Lelakiku itu berusaha sebisa mungkin menghindari
bus tersebut. Namun sepertinya memang telah tiba saatnya maut menjemput. Lebih
tepatnya menjemputku.
Tabrakan yang terjadi antara sepeda
motor yang kami kendarai dengan bus tersebut membuatku tubuhku terlempar dan jatuh
menghantan trotoar. Rasa sakit yang luar biasa ku rasakan di sekujur tubuhku.
Rasanya seperti dipukul bertubi-tubi dengan batu berukuran besar. Dapat ku
rasakan darah mengalir deras dari kepalaku.
“Bertahanlah Kirana!” Sayup-sayup ku
lihat lelakiku itu berteriak sambil menyandarkan kepalaku di pangkuannya.
Tiba-tiba aku merasa kesulitan
bernafas. Dadaku sesak. Rasa sakit yang kurasakan semakin menjadi-jadi. Sebelum
akhirnya aku menutup kedua mataku dan memasuki dunia yang serba gelap aku
sempat melihat air mata mengalir dari pelupuk mata lelakiku itu.
“Kamu berbohong soal air mata
terakhir itu, sayang.”
***
Komentar
Posting Komentar