[CERPEN] Kaca Yang Berdebu (Dimuat di Koran Waspada, Minggu 19 Agustus 2018)

Koran Waspada Edisi Minggu, 19 Agustus 2019 Versi Cetak


Kaca Yang Berdebu
Cerpen : Feby Farayola

            Sudah cukup lama kaca pada jendela-jendela yang ada di rumah itu tidak dibersihkan, sehingga debu yang tebal menyelimuti. Marni bergegas mengambil kain dan cairan pembersih kaca untuk menghilangkan debu tersebut. Aktivitas tersebut selesai ketika senja membungkus langit.
            Rumah yang ditempatinya itu adalah peninggalan kedua orang tuanya. Karena dirinya adalah anak tunggal, maka rumah tersebut diwariskan kepadanya. Banyak kenangan yang berceceran di setiap sudut rumah tersebut. Segala hal yang terdapat di rumah itu bagai saksi bisu setiap momen yang terlewat sejak dirinya kecil hingga kini. Tanpa terasa adzan magrib berkumandang. Marni memejamkan mata sembari merapalkan doa-doa perihal keinginan yang belum sempat terpenuhi. Sebab saat adzan adalah waktu yang baik untuk melangitkan doa-doa.
            Selepas adzan, Marni mengambil wudhu dan melaksanakan kewajibannya sebagai seorang hamba yaitu menunaikan sholat magrib. Usai sholat kembali ia melangitkan doa-doa untuk orang-orang terkasih dan juga untuk keberkahan hidup yang ingin didapatkannya selama di dunia maupun akhirat kelak. Tanpa terasa air matanya menetes. Ia teringat pada kenangan pahit yang telah dikuburnya dalam ingatan. Untungnya, dirinya memiliki allah yang maha pengasih dan penyayang. Karena pada pahitnya hidup yang pernah ia alami, allah tidak lupa memberikan manisnya hidup setelahnya.
            Rasa rindu terhadap kedua orang tuanya yang telah pergi mengepul dalam dada. Juga kerinduan pada seorang yang menjadi penyempurna iman yang saat ini sedang berada jauh di tengah lautan sana demi mengumpulkan pundi-pundi rupiah. Laki-laki itu adalah seseorang yang mengerti bahwa dirinya adalah kaca yang berdebu. Melalui laki-laki itu pula allah memberinya manisnya hidup setelah pahit yang begitu memuakkan.
             Ingatannya terbang pada beberapa tahun silam. Suara piring pecah dan perabotan yang dibanting seolah sudah menjadi sesuatu yang biasa di rumah tersebut. Pada waktu itu, Marni mengakrabi air mata yang saban hari tak pernah letih membanjiri pipi.
            “Memasak saja tidak becus! Perempuan macam apa kau ini?”
            Suara teriakan dari seorang laki-laki membuat tubuh Marni bergetar. Ia meringkuk ketakutan di sudut dapur.
            “Makanan ini rasanya sangat asin!” Laki-laki itu kembali berteriak.
            “Maaf. Saya sedang tidak enak badan. Kepala saya sangat pusing. Saya tidak tahu kalau yang saya masukkan ke masakan itu garam…” Belum sempat Marni menuntaskan ucapannya, satu tamparan mendarat di pipinya.
            “Alasan! Bilang saja kamu tidak bisa memasak! Dasar perempuan tidak berguna!” Sejurus kemudian laki-laki itu pergi meninggalkan Marni yang sedang tersedu-sedu dalam tangisan sambil menahan perih pada pipinya.
            Sejak awal Marni tidak pernah menginginkan pernikahan ini! Laki-laki itu juga bukan yang ia harapkan untuk menjadi teduh atas teriknya kehidupan. Namun ia tidak bisa melakukan apa-apa selain pasrah. Sebab kedua orang tuanya terlilit hutang dengan orang tua laki-laki itu yang seorang lintah darat. Semakin hari bunga dari hutang tersebut semakin menumpuk. Sedangkan harta dan benda sudah habis dijual untuk melunasi hutang tersebut. Hingga pada suatu ketika orang tua lelaki itu membuat kesepakatan. Hutang kedua orang tua Marni akan dianggap lunas jika mereka berkenan menikahkan putri tunggal mereka dengan putra tunggal lintah darat tersebut.
            Tentu saja kedua orang tua Marni menolak. Sebab seluruh penduduk di kampung itu sudah mengetahui bahwa putra dari lintah darat tersebut memiliki perangai buruk. Kasar, suka mabuk-mabukan dan berjudi, bahkan tak segan-segan menghalalkan segala cara demi mendapatkan apa yang ia inginkan. Namun, tiada hidup tanpa cobaan. Dan Marni percaya allah memberinya cobaan karena rasa cinta untuk hambanya. Marni juga percaya bahwa allah tidak akan memberikan cobaan melebihi batas kemampuan hambanya. Maka, menikah dengan putra dari lintah darat itu adalah sebuah cobaan bagi Marni. Jika memang laki-laki itu adalah sosok yang namanya mendampi nama Marni di lauhul mahfudz sana, ia ikhlas.
            Kehidupan rumah tangga Marni dengan laki-laki itu pun berjalan dengan alur yang sudah bisa ditebak. Kekerasan dalam rumah tangga tak bisa dihindari. Setiap hari Marni harus menerima siksaan baik secara fisik maupun batin. Marni tak pernah melawan karena ia yakin kesabarannya akan berbuah manis. Tetapi dirinya hanya seorang Marni. Ia bukan malaikat. Ia memiliki batas kesabaran. Suatu hari, ia mendapat keberanian untuk melawan monster yang bersembunyi di balik status sebagai suaminya itu.
            “Kau itu istriku. Milikku! Aku memiliki hak penuh atas dirimu!” Ucap laki-laki itu yang tidak pernah berbicara dengan lembut pada istrinya sendiri.
            “Hanya karena kau memiliki hak atas diriku bukan berarti kau bisa seenaknya memperlakukanku dengan kasar!” Balas Marni.
            Laki-laki itu tampak terkejut karena Marni telah berani melawannya.
            “Siapa bilang, hah? Kau sudah ku beri nafkah! Maka kau harus terima atas semua perlakuanku!”
            “Tugas seorang suami bukan hanya menafkahi. Tetapi juga melindungi. Bukan menghancurkan seperti ini!”
            Beruntung saat itu tetangga berdatangan untuk memisahkan Marni dari laki-laki kejam itu. Sehingga fisiknya tidak terluka begitu parah. Dalam setiap derai air mata Marni selalu berdoa agar semua rasa sabar dan air matanya berbalas kebahagiaan.
            ***
            Tanpa disadari oleh Marni, doa-doa yang selama ini dilangitkannya telah mengetuk pintu pengabulan. Laki-laki itu datang ketika Marni merasa tak lagi memiliki sisa tenaga untuk menghadapi monster yang bersembunyi di balik status sebagai suaminya itu. Laki-laki tersebut adalah sosok yang pernah menuntut ilmu di pesantren yang sama dengannya dulu. Namanya Yusuf. Sebenarnya diam-diam lelaki itu telah menaruh hati pada Marni sejak dulu. Namun ia memilih memendamnya dan menunggu saat yang tepat untuk menyatakannya. Semesta mempertemukan mereka saat Marni sedang berbelanja di pasar. Ada sesuatu yang hangat menjalar di hati masing-masing mereka ketika pertemuan itu terjadi. Tetapi sesuatu yang hangat itu hanya terjadi seketika sebab monster itu muncul tiba-tiba dan mencaci Marni habis-habisan.
            “Jadi ini laki-laki yang membuatmu selama ini tidak tunduk sebagai seorang istri?” Tuduh laki-laki itu sambil menunjuk wajah Marni.
            “Maaf, tapi anda sebaiknya tidak berlaku kasar pada perempuan. Apalagi itu istri anda sendiri. Perempuan itu ibarat kaca yang berdebu. Jangan terlalu keras membersihkannya. Nanti ia mudah retak dan pecah.*” Ucap Yusuf.
            Tak perlu menunggu waktu lama, adu otot pun terjadi antara Yusuf dan laki-laki itu. Untung saja orang-orang sekitar behasil melerai mereka. Sejak awal Marni selalu yakin bahwa allah tidak akan membeikan cobaan melampaui batas kemampuan hambanya. Dan hari itu ternyata keyakinannya benar. Allah mengangkat cobaannya pada Marni melalui Yusuf.  Ia membantu Marni menuntut keadilan. Bukti yang ada lebih dari cukup untuk menjebloskan laki-laki itu ke penjara atas tuduhan kekerasan dalam rumah tangga. Marni juga melayangkan gugatan cerai padanya.
            “ Ia bagai permata keindahan. Sentuhlah hatinya dengan kelembutan. Ia sehalus sutera di awan. Jagalah hatinya dengan kesabaran. Lemah lembutlah kepadanya namun jangan terlalu memanjakannya. Tegurlah bila ia ada salah. Namun jangnlah lukai hatinya.*” Ucap Yusuf pada laki-laki itu yang kini telah mendekam di balik jeruji besi. Laki-laki itu melemparkan tatapan benci pada Yusud. Namun Yusuf tidak memperdulikannya. Ia membawa Marni berlalu dari tempat itu.
            Usai hari itu, Yusuf meminta Marni untuk pergi bersamanya ke dalam ikatan yang diridhoi pemilik semesta. Tentu saja Marni mengindahkan ajakannya. Sebab sebenarnya selama ini Marni menantikan dirinya datang menjemputnya ke ikatan tersebut. Namun semesta baru mempertemukan mereka saat itu. Marni juga yakin bahwa Yusuf adalah orang yang tepat karena ia memiliki akhlak yang baik. Marni percaya, jika dirinya memilih seseorang berdasarkan kebaikan akhlaknya akan tiada penyesalan yang datang. Yusuf yang berprofesi sebagai seorang pelaut membuatnya tidak selalu berada di sisi Marni. Namun doa membuat keduanya selalu merasa dekat. Terlebih dekat pada sang maha cinta.
            ***
            Catatan : *Penggalan lirik lagu Maidany berjudul Kaca Yang Berdebu
                                                               
               
             

Komentar

Postingan populer dari blog ini

[CERPEN] Nostalgia Lebaran (Dimuat di Koran Waspada, Minggu 8 Juli 2018)

[CERPEN] "Merah Putih di Atas Api" Dimuat di Koran Waspada Minggu, 13 Agustus 2017

[CERPEN ANAK] Terima Kasih Guruku (Dimuat di Rubrik Taman Riang Koran Analisa, Minggu 27 November 2016)