[Cerpen] Puisi Di Wajahmu Yang Pagi (Dimuat di Koran Medan Pos, Minggu 26 Agustus 2018)

Koran Medan Pos Edisi Minggu, 26 Agustus 2018 Versi Cetak




Puisi Di Wajahmu yang Pagi
Oleh : Feby Farayola

            Sisa hujan yang turun di wajah Alyssa belum sepenuhnya menghilang. Hujan itu turun disertai dengan rasa sakit yang menghantam dadanya. Sebab, di pertandingan cerdas cermat kali ini dirinya harus kembali menelan kekalahan yang rasanya pahit sekali. Tidak hanya itu, bisikan-bisikan tajam dari murid-murid yang lain seolah mengiris hatinya.
            Ternyata benar yang dikatakan mamanya. Orang-orang hanya bisa bekomentar ketika kita mengalami kegagalan. Kebanyakan mereka enggan merangkul ketika kita membuat kesalahan. Padahal orang-orang itu tidak mengerti perjuangan seperti apa yang telah dilakukan agar tidak bertemu dengan kegagalan dan kesalahan tersebut.
            Alyssa berjalan menyusuri koridor sekolah sembari mencoba tidak ambil pusing dengan perkataan orang-orang. Yang penting, ia telah berusaha semaksimal mungkin untuk pertandingan cerdas cermat kemarin. Namun, mungkin keberuntungan belum berpihak padanya. Ia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk menjadikan komentar-komentar pedas dari mulut-mulut mereka sebagai motivasi agar kedepannya ia berusaha lebih keras lagi. Tetapi, dirinya hanyalah seorang manusia berhati rapuh. Sekuat apapun ia bertahan, kelak ia akan jatuh juga.
            Semburat orange telah membungkus langit. Namun waktu itu sekolah belum sepi sebab para anggota tim basket masih berlatih untuk pertandingan antar SMA di kota itu yang akan dilangsungkan beberapa hari lagi. Alyssa menyeka air mata yang masih tersisa di wajahnya lalu menyusuri pandangannya ke seluruh penjuru lapangan basket. Ternyata laki-laki itu tidak ada di sana. Alyssa melanjutkan langkahnya menuju kantin. Ia butuh air mineral untuk menjernihkan pikirannya.
            Sebelum memutuskan pulang, Alyssa menyempatkan diri untuk duduk sejenak pada sebuah bangku yang ada di koridor dekat pintu perpustakaan yang sudah tutup. Tanpa diminta, hal-hal yang selama ini membuatnya tertekan menjejali pikirannya. Semenjak kedua orang tuanya bercerai hidupnya berantakan. Prestasinya menurun, kepribadiannya berubah, dan semangat hidupnya meredup. Tiba-tiba, tanpa permisi seorang laki-laki duduk di sebelahnya sambil meneguk sebotol air mineral.
            Laki-laki itu adalah salah satu alasan mengapa ia bertahan. Dia adalah sebab mengapa Alyssa masih memperjuangkan mimpi-mimpinya. Dia adalah jawaban dari setiap kata mengapa yang ada pada dirinya. Dia adalah laki-laki yang fotonya memenuhi gallery Alyssa. Foto-foto itu diambilnya secara diam-diam dari akun sosial media miliknya. Dia adalah sebab dari lahirnya diksi-diksi pada puisi yang ditulisnya pada sebuah buku bersambul biru langit. Laki-laki itu adalah rasa hangat yang kerap mengusir dingin yang menyelimuti hatinya. Dan, dia adalah pagi usai malam yang mengepungnya dengan kesedihan. Tetapi tentu saja laki-laki itu tidak mengetahui bahwa ada sosok gadis yang mengistimewakan dirinya dalam hidup gadis tersebut. Gadis itu adalah Alyssa. Seorang gadis yang hanya mampu menceritakan segalanya pada kebisuan.
            “Aku takut. Temenin aku ya. Sebentar aja.”
            Alyssa menatap laki-laki itu. Takut? Apa yang ditakutkannya? Dia adalah seorang kapten tim basket sekolah dengan kemampuan yang tidak perlu diragukan. Semua orang menyukainya. Para guru dan tentunya gadis-gadis cantik di sekolah. Apa yang harus ditakutkan? Soal prestasi? Setiap semester ia tidak luput dari peringkat 3 besar. Tapi, dari mana Alyssa mengetahui semua itu? Ah, kalian harus tahu bahwa perempuan adalah mata-mata paling handal jika menyangkut mengenai seseorang yang spesial bagi mereka.
            “Kalau lagi takut begini, kadang aku pengen ada seseorang yang meyakinkan aku kalau semuanya bakalan baik-baik aja.”
            “Ada banyak orang di sekeliling kamu. Kenapa kamu kelihatan kesepian?” Kalimat itu meluncur begitu saja dari bibir Alyssa.
            Pandangannya dan pandangan laki-laki itu bertemu. Seorang laki-laki yang mustahil tidak ada yang tidak mengenalnya di sekolah ini. Namanya Mario.
            “Kamu pernah merasa kesepian di tengah-tengah keramian?” tanya Mario.
            Alyssa mengangguk.
            “Kalau begitu kita sama.”
            “Bagaimana mungkin?” Alyssa tidak mengerti.
            “Kamu pernah merasa tertekan atas perasaan takut mengecewakan orang lain?” Mario menjawab pertanyaan Alyssa dengan pertanyaan.
            Kembali Alyssa mengangguk.
            “Nah, kita sama lagi.” Mario tertawa kecil. Sebuah tawa yang mengalirkan rasa hangat di dada Alyssa.
            “Nyatanya selama ini kamu belum pernah buat orang-orang di sekitar kamu kecewa, kan?” tanya Alyssa.
            “Kayaknya kamu tahu banyak hal tentang aku.” Mario kembali tertawa kecil. Pernyataannya barusan membuat detak jantung Alyssa tidak normal. Apa selama ini Mario tahu bahwa diam-diam Alyssa selalu memperhatikannya? “Cuma bercanda,” ucap Mario lagi. Alyssa menghembuskan napas lega.
            “Ayah aku pecinta berat dunia olahraga. Sejak kecil, cita-cita ayah ingin jadi atlet terkenal atau minimal dosen di fakultas olahraga. Tapi kakek malah menekan ayah untuk jadi akuntan seperti kakek. Jadi sekarang, aku kena imbas dari ambisi ayah yang nggak kesampaian,” ucap Mario panjang lebar.
            Selama ini ia tidak pernah menceritakan hal tersebut pada siapapun. Biarlah orang-orang mengenalnya sebagai Mario yang jago bermain basket meski dalam hati kecilnya itu bukan hal yang ia sukai. Namun dengan gadis itu, ia merasa tepat. Tepat untuk menceritakan dan mencurahkan apapun yang tidak ingin dibagikannya pada orang lain. Tepat untuk menunjukkan sisi lainnya yang selama ini tidak pernah ditunjukkannya. Dan juga tepat-tepat yang lainnya.  
            “Lalu apa ambisi kamu?” tanya Alyssa.
            “Aku mau jadi penulis.”
            “Jawaban yang nggak terduga,” sahut Alyssa. Ternyata Mario yang selama ini diperhatikannya diam-diam adalah sosok yang agak berbeda jika sedang mengobrol berdua seperti sekarang.
            “Aku tebak, ambisi kita pasti sama, iya kan?” tebak Mario.
            “Sayangnya tebakan kamu salah.”
            “Oh ya?” tanya Mario dengan kening berkerut. “Apa buku bersambul biru langit ini nggak cukup menjadi bukti kalau tebakanku benar?” ucap Mario sambil menunjukkan sebuah buku bersampul biru langit yang kemarin ditemukannya di perpustakaan.
            “Astaga, dari mana kamu dapat buku ini?” Alyssa kaget. Buku tersebut memang hilang pada beberapa hari yang lalu usai dirinya mengembalikan buku yang ia pinjam dari perpustakaan. Tapi ia tidak menyangka bahwa Mario lah yang akan menemukan buku tersebut. Pada lembar halaman pertama buku itu, Alyssa menulis nama lengkapnya. Dan sekarang Mario mengembalikan padanya? Tunggu, apakah itu berarti Mario mengenal dirinya?
            “Puisi-puisi yang ada di buku itu semuanya bagus, Alyssa. Aku suka.” Mario memandang Alyssa sambil tersenyum. Ia tidak menyadari efek senyumnya barusan menyebabkan pipi Alyssa memerah. “Bagaimana mungkin penulis puisi sebagus itu nggak punya ambisi untuk menjadi seorang penulis?”
            Puisi-puisi itu lahir setiap kali aku melihat wajah kamu yang teduh, Mario. Setiap kali kamu tersenyum ada sesuatu yang hangat di dadaku. Karena itu lah puisi-puisi itu lahir. Ucap Alyssa, dalam hati tentunya. Tidak mungkin ia mengatakannya langsung. Ia tidak mempunyai nyali. Bagaimana bisa gadis yang kehilangan cahaya hidup sepertinya mengatakan hal tersebut pada seseorang yang dipuja-puja gadis-gadis sentero sekolah? Atau mungkin di luar sana banyak juga gadis-gadis yang memujanya.
            “Pasti menyenangkan ya kalau ada seseorang yang menulis puisi-puisi seperti itu untukku. Apalagi kalau yang menjadi inspirasinya adalah aku,” ucap Mario dengan tatapan menerawang pada bentangan langit sore itu sembari mengembangkan senyum.
            Sesuatu terasa seperti mencubit hati Alyssa. Puisi-puisi itu memang aku tulis untuk kamu. Dan kamu memang sumber inspirasi dari semua puisi-puisi itu. Batin Alyssa bergejolak. Dadanya tiba-tiba terasa sesak. Lagi-lagi ia hanya mampu berdialog dengan kebisuan. Jika sang kebisuan mampu bersuara, mungkin ia telah berteriak di telinga Alyssa agar gadis itu mengatakan saja apa yang ingin dikatakannya pada Mario. Namun kenyataannya tidak seperti itu.
            Mario menghembuskan nafas sejenak lalu berkata, “Apapun ambisi kamu, semoga kamu tetap semangat ya untuk mendapatkannya.”
            “Kamu juga,” balas Alyssa dengan suara lemah. Tenaganya seolah telah habis untuk melawan gejolak dalam batinnya.
            “Walaupun aku nggak tahu kenapa belakangan ini kamu berubah jadi sosok gadis yang berbeda, tetaplah menjadi pagi untuk puisi-puisi yang malam.”
            Kali ini, apa maksud ucapan Mario? Laki-laki ini benar-benar telah mengaduk-aduk perasaan Alyssa.
            “Ini untuk kamu. Aku lanjut latihan dulu ya. Jangan pulang lama-lama. Dan jangan lupa menonton aku bertanding bersama tim basket sekolah nanti.” Sebelum meninggaalkan Alyssa, Mario memberinya sebuah buku dengan sampul berwarna serupa dengan milik Alyssa. Bedanya, di halaman pertama buku itu tertulis nama lengkapnya. Mario Stevano Aditya. Lalu ia pergi menuju lapangan bakset tanpa berkata-kata lagi.
            ***
            Malam kembali datang. Seperti biasa, di dalam kamarnya Alyssa bertemankan sepi. Ya, semenjak perceraian itu terjadi sepi adalah temannya sehari-hari. Namun, rasa kesepian yang biasa dirasakannya kini berganti dengan semacam perasaan yang mampu membuatnya tersenyum sepanjang hari. Isi dari buku yang diberikan Mario tadi sore lah yang menjadi penyebabnya. Mulai detik itu, dirinya tidak lagi perlu berdialog dengan kebisuan. Sebab isi dari buku itu telah menjelaskan semuanya. Bahwasanya dirinya berhak mengatakan apapun yang ingin dikatakannya pada Mario. Begitupun sebaliknya.
            Ah, Mario. Terima kasih karena telah memilihku.
            ***
                                                                       
                                               

Komentar

Postingan populer dari blog ini

[CERPEN] Nostalgia Lebaran (Dimuat di Koran Waspada, Minggu 8 Juli 2018)

[CERPEN] "Merah Putih di Atas Api" Dimuat di Koran Waspada Minggu, 13 Agustus 2017

[CERPEN ANAK] Terima Kasih Guruku (Dimuat di Rubrik Taman Riang Koran Analisa, Minggu 27 November 2016)