[CERPEN] (Al)adin (Dimuat di Koran Medan Pos, Minggu 13 Januari 2019)

Koran Medan Pos Versi Online





(Al)adin
Oleh : Feby Farayola



            Semenjak dunianya menjadi gelap gadis itu tidak pernah lagi perduli pada mimpi-mimpinya yang teronggokk mati. Untuk apa bermimpi sedangkan kau hidup dalam dunia yang penuh dengan kegelapan? Begitulah yang ia pikirkan. Namun semesta menghantarnya pada suatu sore yang mengubah banyak hal dalam hidupnya melalui pemuda itu. Sosok yang kembali membangkitkan mimpi-mimpinya.
            Sore itu gadis tersebut sedang berada pada sebuah taman dekat perumahan tempat ia tinggal. Ia sudah hafal betul dengan daerah tersebut sehingga tiada kesulitan yang berarti untuk tiba di sana. Tempat tersebut selalu mampu menghadirkan ketenangan ketika dirinya dilanda perasaan jenuh, resah, dan sejenis perasaan-perasaan tidak menyenagkan lainnya. Ketika ia telah menemukan sebuah bangku taman yang tiada berpenghuni, barulah disadarinya bahwa buku yang tadi ia bawa tidak ada dalam genggamannya. Astaga, kemana buku itu?
          “Rinjani. Pasti isinya mengenai sebuah gunung yang berada di pulau Lombok. Buku ini milikmu?” Sebuah suara yang terdengar begitu jernih menggelitik pendengarannya.
            Di hadapan gadis itu saat ini sedang berdiri sosok pemuda berkulit sawo matang dengan postur tinggi dan tegap.
            “Aku tahu banyak hal tentang Rinjani. Kamu mau dengar?” ucap pemuda itu.
          Berbicara mengenai indahnya pahatan alam semesta selalu berhasil menumbuhkan ketertarikan yang amat besar dalam diri gadis itu. Maka tanpa ragu gadis itu menjawab, “Tentu.”
            Sebenarnya pada percakapan pertama mereka di sore itu, pemuda tersebut lebih mendominasi. Ia menceritakan segala yang diketahuinya mengenai gunung Rinjani. Terlebih mengenai pendakian pertamanya ke gunung tersebut. Ia juga bercerita mengenai kehidupannya di kampus. Ternyata dirinya adalah seorang mahasiswa jurusan teknik geologi yang saat ini memasuki tahun terakhirnya.
            “Jadi kamu mengikuti kegiatan pecinta alam di kampusmu?” tanya gadis itu.
            Pemuda itu mengangguk. “Ya,” jawabnya.
          “Andai aku bisa melihat dunia lebih luas sepertimu.” Kalimat itu meluncur begitu saja dari bibir gadis itu. Ia sendiri merasa kaget. Mungkin selama ini hal itu adalah salah satu mimpi terbesarnya yang terpaksa harus dikubur dalam-dalam.
           Ada dorongan kuat yang dirasakan pemuda itu untuk perduli pada gadis dihadapannya saat ini. Mungkin karena dirinya kasihan melihat kondisi gadis itu? Entahlah. Saat itu pemuda tersebut belum menemukan jawabannya.
          “Besok sore kita harus bertemu lagi di sini, ya?” ucap pemuda itu ketika hari semakin gelap. “Kamu bisa pulang sendiri?”
            “Tentu,” jawab gadis itu.
            Sebelum beranjak pulang pemuda itu menyadari sesuatu. Jika dirinya perduli pada gadis itu hanya karena kasihan, mengapa rasanya ia ingin terus bertemu dengan gadis itu?
            ***
            Sesuai dengan yang telah disepakati, keesokan harinya mereka kembali bertemu. Begitu juga dengan keesokah harinya, keesokan harinya lagi, dan seterusnya. Pemuda itu masih mendominasi percakapan. Pada pertemuan kali ini dirinya bercerita bahwa sebenarnya kedua orang tuanya tidak menyukai kegiatan pecinta alam yang diikutinya di kampus. Kedua orang tuanya ingin pemuda itu hanya fokus kuliah dan lulus tepat waktu. Pemuda itu juga bercerita bahwa sebenarnya kedua orang tuanya tidak setuju dengan jurusan yang dipilihnya. Namun ia tetap kukuh pada pilihannya.
          “Cuma kita yang tahu apa yang kita inginkan. Cuma kita yang boleh menentukan pilihan dalam hidup kita. Karena ini hidup kita. Bukan hidup orang lain,” ucap pemuda itu sambil meneguk minuman kaleng bersoda yang tadi dibelinya di minimarket dekat taman tersebut.
        Gadis itu tertegun. Andai ia memiliki kesempatan untuk memilih sama seperti pemuda itu. Tetapi itu mustahi.
            “Apa yang kamu inginkan untuk sekarang ini?” tanya pemuda itu tiba-tiba.
            Apa yang diinginkannya? Tentu saja ia ingin hidup bebas. Bebas bermimpi, bebas melakukan apapun yang ia suka, bebas pergi ke manapun yang ia inginkan. Sekali lagi, sayangnya semua itu mustahi. Maka gadis itu hanya menjawab, “Aku ingin melihat dunia yang lebih luas sama sepertimu.”
            “Kalau begitu aku akan membawamu melihat dunia yang lebih luas,” sahut pemuda itu sambil menyisir rambut ikalnya yang agak gondrong.
            “Dengan cara apa?”
          “Dengan karpet ajaib. Sama seperti yang dilakukan Aladin ketika membawa putri Jasmine terbang untuk melihat cakrawala.”
            “Tapi kamu kan bukan Aladin.”
           “Aku memang bukan Aladin. Aku Aldi. Tapi aku mampu memberimu hal yang lebih luar biasa daripada yang diberikan Aladin pada putri Jasmine.”
            Gadis itu tertawa kecil. “Ternyata pemuda pecinta alam sepertimu menyukai kisah-kisah semacam itu.”
            “Memangnya tidak boleh?”
            Lalu keduanya tertawa bersama.
           Hanya kepada pemuda tersebut gadis itu berani menceritakan mimpi-mimpinya yang terkubur. Hanya kepada pemuda tersebut gadis itu percaya bahwa ia tidak akan mencacinya seperti yang lain. Hanya kepada pemuda tersebut gadis itu berani jujur mengenai apa saja. Termasuk kehidupan seperti apa yang ia inginkan. Ya, hanya kepadanya. Kepada pemuda yang bernama Aldi itu.
            Melihat senyum di wajahnya dan juga merasakan keputusaaan yang perlahan mulai memudar dalam diri gadis itu pemuda tersebut yakin bahwa gadis itu berhak mendapatkannya. Mendapatkan sesuatu yang sangat penting dari bagian hidupnya. Ya, dialah orangnya.
         “Aku ada sesuatu untukmu.” Pemuda itu menyerahkan sepucuk surat pada gadis tersebut. “Bacalah nanti ketika kau telah melihat dunia yang lebih luas.”
            Lalu pertemuan pada hari ini berakhir.
            ***
            Setelah pertemuan mereka pada sore itu, gadis tersebut tidak pernah lagi bertemu dengan pemuda yang berhasil menghujaninya dengan bahagia meski hanya dengan bercerita. Gadis itu senang mendengar pemuda itu bercerita. Cerita tentang apa saja. Singkatnya, gadis itu menyukai semua hal yang bersangkutan dengan pemuda itu. Namun beberapa hari belakangan ini pemuda itu bagai menghilang. Ke mana perginya ia? Padahal gadis itu ingin mendengar kembali cerita-ceritanya sekaligus memberitahu bahwa kini ia telah berhasil melihat dunia yang lebih luas.
           Ah, gadis itu ingat bahwa pemuda itu pernah memberinya sepucuk surat yang boleh dibacanya ketika ia telah berhasil melihat dunia yang lebih luas. Surat itu selalu disimpannya di dalam tas kecil yang tak pernah lepas darinya saat bepergian dari rumah. Maka, gadis itu merogoh isi tasnya untuk mengambil sepucuk surat tanpa amplop itu dan mulai membacanya.
            Nafasnya tercekat saat membaca sebaris kalimat pada paragraf pertama surat tersebut. Selebihnya rasa sesak datang bertubi-tubi seiring dengan kalimat-kalimat yang dibacanya pada surat tersebut. Ketika tiba di kalimat terakhir air matanya sempurna meleleh. Gadis itu menangis sesegukan.
            Ternyata pemuda itu mengidap kelainan jantung. Itu sebabnya kedua orang tuanya melarang keikutsertaannya dalam kegiatan pecinta alam. Semakin hari kondisi jantungnya bertambah parah. Bahkan dokter menyatakan bahwa dirinya tidak akan bisa sembuh meski ada pendonor jantung yang cocok. Pemuda itu sempat berada di ambang keputusaan. Namun ketika ia bertemu gadis itu semangat hidupnya kembali walau ia tahu umurnya tidak akan lama lagi. Maka, demi gadis yang telah mempersembahkan detik-detik terindah di sisa hidupnya pemuda itu merelakan kedua matanya untuk gadis itu agar ia mampu melihat dunia lebih luas seperti yang diinginkannya. Ya, semula gadis itu hanyalah gadis buta yang bermimpi melihat indahnya alam semesta. Dan ketika ia tidak lagi hidup dalam kegelapan cahaya terindahnya justru menghilang.
            “Apakah putri Jasmine akan tetap bahagia saat terbang dengan karpet ajaib untuk melihat dunia yang lebih luas meski tanpa sang Aladin?” lirih gadis itu disela-sela tangsinya.
            ***
                                               

Komentar

Postingan populer dari blog ini

[CERPEN] Nostalgia Lebaran (Dimuat di Koran Waspada, Minggu 8 Juli 2018)

[CERPEN] "Merah Putih di Atas Api" Dimuat di Koran Waspada Minggu, 13 Agustus 2017

[CERPEN ANAK] Terima Kasih Guruku (Dimuat di Rubrik Taman Riang Koran Analisa, Minggu 27 November 2016)