[CERPEN] Partitur (Dimuat di Koran Waspada, Minggu 16 Desember 2018)

Koran Waspada Versi Digital




Partitur
Cerpen : Feby Farayola


           
            Denting piano mengalun lembut dari ruangan berdinding batu bata itu. Sesekali terdengar bunyi bara api yang bergemeletuk dari perapian. Meciptakan kehangatan yang mengalahkan udara diri pada awal musim dingin seperti saat ini. Tak jauh dari piano yang sedang dimainkan tersebut, terdapat sebuah meja dengan partitur-partitur yang berserakan di atasnya. Partitur-partitur tersebut berisi coretan-coretan not balok sebuah symphoni yang belum rampung. Maka, lelaki tua itu mencoba merampungkannya dengan mencoba beberapa nada dengan piano tersebut.
            “Sudah lewat tengah malam, pak. Lanjutkan saja besok.” Seorang pemuda menyembul dari balik pintu ruangan tersebut. Tidak benar rasanya mebiarkan bapaknya terus berkutat dengan piano dan partitur-partitut tersebut hingga lewat tengah malam seperti saat ini.
            “Sebentar lagi.” Lelaki tua itu menghusap rambut berubannya, lalu kembali memainkan jari-jarinya di atas tus-tus piano.        
            “Jangan mengabaikan waktu istirahat, pak.” Pemuda itu kembali membujuk bapaknya agar menghentikan aktivitasnya. Namun lelaki tua itu keras kepala.
            “Sebentar lagi.” Hanya itu lah yang diucapkannya.
            Akhirnya pemuda itu menyerah. Ia kembali ke kamarnya dan meninggalkan bapaknya yang masih sibuk sendiri.
            Ketika anak laki-laki semata wayangnya sudah pergi dari ruangan tersebut, lelaki tua itu menghembuskan nafas berat. Dadanya terasa sesak sekali. Ternyata kehilangan rasanya sesakit ini.
            Lelaki tua itu adalah seorang musisi yang mengadu nasib ke negeri seberang. Nyatanya di tempat baru yang ia tinggali kini, nasib membawanya ke arah yang lebih baik. Karirnya cemerlang. Bahkan ia bertemu dengan seorang perempuan yang menarik hatinya yang berprofesi serupa. Mereka saling jatuh cinta dan memutuskan menikah. Di negara tempat lelaki tua itu berasal, dirinya tidak mempunyai siapa-siapa lagi. Maka sejak memulai bahtera rumah tangga dengan perempuan itu, ia juga memutuskan untuk tidak pernah kembali ke negara asalnya.
            Setiap hari yang terlewati terasa menyenangkan. Terkadang sepasang suami istri itu menghabiskan malam dengan sama-sama menyelesaikan symponi yang dituangkan di atas partitur hingga tanpa terasa matahari pagi telah menyapa. Karya-karya mereka mendapat apresiasi yang baik dari masyarakat. Kebahagiaan mereka bertambah ketika seorang anak laki-laki lahir dari rahim perempuan itu.
            Setiap kebahagiaan yang dirasakannya dituangkan dalam bentuk symphoni oleh lelaki tua itu. Kebahagiaan membuat symphoni ciptaannya terdengar menentramkan hati siapapun yang mendengarkannya. Kebahagiaan pula yang membuat semangat berkaryanya terus tumbuh. Dan kebahagiaan membuatnya seperti layaknya seekor burung dengan sepasang sayap yang kokoh. Membawanya terbang tinggi ke manapun ia mau.
            Namun sayang, petir membuat sayapnya terluka. Salah satu symphoni ciptaannya dan ciptaan istrinya dituding sebagai plagiat. Hal tersebut membuat sepasang suami istri itu kehilangan kepercayaan orang-orang. Hal tersebut juga membuat mereka tidak lagi mendapatkan tempat di dunia musik. Semua menjadi kacau dan berantakan.
            Lelaki tua itu tersenyum getir sambil memainkan irama Fur Elise dengan pianonya kala mengingat saat itu. Manusia-manusia yang penuh dengan kebencian dan iri hati itu benar-benar keterlaluan! Karena ulah mereka lelaki tua itu dan istrinya harus menanggung malu akibat perbuatan yang sama sekali tidak mereka lakukan. Ya, sebenarnya lelaki tua itu dan istrinya hanya korban fitnah.
            Tak lama dari fitnah yang dilimpahkan pada lelaki tua dan istrinya itu, sang istri jatuh sakit. Keadaan ekonomi yang memburuk membuat sang istri tidak mendapatkan pengobatan yang layak dan akhirnya meninggal. Saat itu, lelaki tua tersebut merasa sepasang sayapnya putus dan tak akan pernah tumbuh kembali. Hidupnya terasa hancur.
            Alunan irama Fur Elise terdengar semakin sendu. Lelaki tua itu bersenandung pelan seiring dengan alunan piano yang mengalun.
            Seiring berjalannya waktu, semua mulai berubah. Namun tidak dengan luka di hati lelaki tua itu akibat fitnah yang dilimpahkan padanya dan juga istrinya. Lelaki tua itu tidak pernah ingin membalaskan dendam sebab itu adalah titah terakhir sang istri sebelum dirinya beristirahat di keabadian.
            Ketika beranjak dewasa, anak laki-laki semata wayangnya meminta restu untuk kuliah di jurusan seni musik. Lelaki tua itu tidak melarang anaknya meski hatinya dilanda rasa takut. Dirinya takut jika anaknya bernasib serupa dengannya. Namun lagi-lagi ia teringat titah sang istri. Melarang anaknya mengambil jurusan musik karena bayang-bayang masa lalu berarti secara tidak langsung menanamkan dendam dalam hati anaknya.
            Tiba-tiba gerakan lelaki tua itu terhenti. Ia beranjak mengambil partitur yang berserakan dan menulis not-not balok diatasnya. Inspirasi itu datang begitu saja dalam kepalanya. Bagai air bah yang menghantan sebuah pedesaan.
            Lelaki tua itu tersenyum puas saat memandangi partitur yang berisi not-not balok sebuah symphoni yang telah rampung. Kini ia bisa istirahat dengan tenang.
            ***
            “Pak, ayo kita sarapan.” Pemuda itu mengguncang tubuh bapaknya yang sedang berbaring di atas ranjang. Matahari telah meninggi namun lelaki tua itu masih terlelap. Tak seperti biasanya.
            Lelaki tua itu terlelap pada sebuah ranjang yang ada di ruangan tempat ia berkutat dengan piano dan partitur kemarin malam. Ia sengaja mengubah tempat itu menjadi tempat ia bekerja sekaligus kamar.
            “Pak, bapak, ayo sarapan dulu.” Pemuda itu merasa ada yang aneh dengan bapaknya. Dan sekujur tubuhnya melemas saat mengetahui bahwa denyut nadi bapaknya tak berdetak lagi.
            Tiba-tiba semua hal yang seharusnya tidak dipikirkannya datang begitu saja dalam pikirannya. Pasalnya dulu ia sering tanpa sengaja mendengar percakapan kedua orang tuanya. Tentang ayahnya yang hidup sebatang kara di negara asalnya, tentang fitnah yang dilimpahkan pada kedua orang tuanya, tentang ibunya yang meninggal karena tidak mendapatkan pengobatan yang layak sebab kondisi keuangan mereka memburuk, bahkan ia diam-diam mengetahui siapa-siapa saja orang-orang yang memberikan fitnah itu kepada kedua orang tuanya.
            Selembar partitur tiba-tiba melayang di dekat kakinya. Ia mengutip patritur tersebut dan membacanya. Partitur tersebut adalah partitur yang berisi not-not balok sebuah symphoni yang selama ini membuat bapaknya terjaga hingga larut malam. Aneh, ia seperti menemukan sebuah pesan dalam not-not balok tersebut.
            Dibacanya satu persatu partitur-partitur yang ada di atas meja tersebut. Ah, ternyata dugaannya benar.
            ***
            Di sebuah studio rekaman musik klasik, tiga orang lelaki tua tergeletak dengan pisau yang menancap di perut masing-masing. Sementara itu sebuah piano tua yang ada di ruangan tersebut tampak dimainkan oleh seorang pemuda dengan seulas senyum getir di bibirnya. Ia memainkan sebuah symphoni yang diciptakan ayahnya khusus untuk hari ini. Hari pembalasan!
            ***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

[CERPEN] Nostalgia Lebaran (Dimuat di Koran Waspada, Minggu 8 Juli 2018)

[CERPEN] "Merah Putih di Atas Api" Dimuat di Koran Waspada Minggu, 13 Agustus 2017

[CERPEN ANAK] Terima Kasih Guruku (Dimuat di Rubrik Taman Riang Koran Analisa, Minggu 27 November 2016)