[CERPEN] Surat Tanpa Alamat (Dimuat di Koran Analisa, Minggu 9 Desember 2019)
Koran Analisa Vesi Digital |
Surat
Tanpa Alamat
Oleh
: Feby Farayola
Untukmu yang selalu ku harapkan
kebahagiaannya.
Ketika kau membaca surat ini,
mungkin kau telah membenciku. Aku memang tidak tahu takaran kebencian itu.
Namun menurut prediksiku kebencian itu pasti telah melaut atau bahkan lebih
luas dan dalam dari laut. Tapi tidak apa-apa. Kau berhak atas perasaanmu.
Perihal surat ini, tenanglah. Aku
tidak berniat untuk mengusikmu. Apalagi mencoba untuk menjauhkanmu dari
bahagia. Tidak. Aku tidak bermaksud begitu begitu. Aku hanya ingin menyampaikan
apa yang belum sempat tersampaikan dan menyelesaikan apa yang belum selesai.
Kau pernah memilihku sebagai
seseorang yang spesial. Namun selepas malam itu ku yakin penilaianmu terhadapku
berubah. Kau pasti menganggapku adalah gadis yang angkuh. Benarkah begitu, Ar? Tidak banyak memang
yang telah kita lalui. Tapi Ar, kau harus tahu aku bersyukur atas semua yang
telah terjadi. Setidaknya aku sempat merasakan bagaimana rasanya memiliki
seseorang yang benar-benar perduli padaku. Walau hanya sekejap.
Kini semuanya telah benar-benar
berubah, Ar. Aku bukan aku yang dulu. Begitupun kau. Aku bukan lagi ratu katak
bersuara aneh yang selalu menjadi bahan candaanmu. Tidak ada lagi
lelucon-lelucon konyol mu yang selalu berhasil mengundang tawaku. Tetapi,
bukankah aku dapat merasakan kembali semuanya dengan mengenang? Meski dengan
mengenang yang ku rasakan bukan lagi perasaan bahagia seperti dulu. Melainka
rasa sakit dan senyum getir yang berkali waktu hinggap di bibirku kala
mengingat semuanya.
Bohong jika ku katakan bahwa aku
tidak bersedih atas perpisahan itu. Bohon jika ku katakan aku juga membencimu.
Sebab, bagaimana mungkin aku mampu membenci seseorang yang mampu membuatku merasa begitu berarti? Aku
sedih, Ar. Namun aku tak berdaya melawan semuanya. Aku begitu lemah. Dan karena
aku lemah, aku harus merasakan pahitnya kehilangan.
Tetapi semua itu tidak penting.
Lagipula aku mampu mengemas duka dan kesedihanku di balik senyuman ini. Yang
terpenting adalah kau telah bahagia dengannya. Dengan gadis itu yang lebih baik
dari aku. Dia cantik ya, Ar? Pantas saja kau begitu mencintainya. Dan
sepertinya dia perempuan baik-baik. Dia pasti mampu menjadi ibu yang baik dari
anak-anakmu nanti. Berbeda jauh denganku.
Kau tahu? Ketika kedua orang tua ku
menjodohkan ku dengan laki-laki itu sejujurnya aku ingin mengatakan tidak
dengan tegas. Namun jika hal itu ku lakukan keselamatan kedua orang tuaku
terancam sebab ia memiliki kuasa penuh atas keluargaku. Ya, ayahku sempat
berhutang pada ayahnya yang lintah darat itu. Kondisi keuangan keluarga kami
yang semakin memburuk membuat hutang itu semakin beranak pinak. Ini kisah
klasik sebenarnya, Ar. Namun anehnya hingga kini masih ada saja gadis yang
harus mengalami keadaan sepertiku. Anak dari lintah darat itu menginginkanku.
Tak perduli apakah aku menginginkannya juga atau tidak.
Kau ingat? Di malam perpisahan kita
aku berkata, “Dia laki-laki yang berani menikahiku. Itu sudah cukup untuk
membuktikan kesungguhannya. Sedangkan kau? Kau membuat hubungan ini jalan di tempat,
Arka.”
Sesungguhnya aku tidak
sungguh-sungguh mengatakan hal itu, Ar. Aku hanya ingin kau membenci dan melepaskan gadis angkuh sepertiku serta tidak
merasakan sakitnya kehilangan. Biar aku saja yang
merasakan hal itu. Aku yakin dikemudian hari kau akan mendapatkan kebahagiaan
yang lebih dari gadis lain. Nyatanya kini kau telah mendapatkannya. Aku turut
senang untukmu.
Kau pernah berkata, “Jaga dirimu
baik-baik, Arinda. Jangan boros menggunakan uang. Jangan sering-sering
begadang. Tidak bagus untuk kesehatanmu. Kamu pasti bisa jadi yang terbaik,” ucapmu waktu itu
ketika aku hendak berangkat ke kota untuk melanjutkan pendidikan ke bangku
universitas.
Maaf, Ar. Aku tidak bisa menjaga
diriku. Dan aku tidak bisa menjadi yang terbaik. Anak lintah darat itu memang
membahagiakanku secara lahir. Namun tidak dengan batin. Tetapi hidup harus
tetap berlanjut, Ar. Dan aku yakin aku pasti bisa melalui semuanya. Apalagi
kini aku tidak sendirian. Ada seorang anak laki-laki yang lahir dari rahimku
yang selalu mampu mengembalikan seulas
senyuman selepas
air mata yang membingkai wajahku.
Ku rasa cukup sampai di sini saja
suratku, Ar. Aku tahu, ketika kau membaca surat ini kau pasti sedang
menertawaiku yang bodoh ini karena dulu
aku tak melawan kelemahanku. Tidak apa-apa, Ar. Sekali lagi ku nyatakan
kau berhak atas perasaanmu.
Aku
selalu berharap kebahagiaan selalu menyertaimu. Dimanapun dan sampai kapanpun.
Dalam lelap maupun terjaga.
Terima kasih sudah membaca suratku, Arka. Meskipun
kebencian itu masih tertanam di hatimu, setidaknya perasaanku lega karena telah
menyampaikan semuanya.
Dariku; Arinda.
***
Seorang pemuda mengernyit heran
sehabis membaca surat tersebut. Pasalnya surat itu ditemukannya di dalam sebuah
botol yang terapung di sungai ketika ia memberi minum kambing-kambing ternak milik kakeknya. Ya, setiap
libur sekolah seperti saat ini pemuda itu selalu mengunjungi kakeknya yang kini
tinggal seorang diri di desa itu.
Pemuda itu penasaran dengan penulis
surat tersebut. Sebab sepertinya surat itu ditulis dengan penuh perasaan.
Tetapi dirinya juga tidak memiliki ide siapa yang menulis surat tersebut.
Akhirnya ia memutuskan kembali ke rumah kakeknya dengan membawa surat itu. Lagipula kambing-kambing
tersebut sepertinya sudah
puas minum.
Setibanya ia di rumah kakeknya,
lelaki tua itu tampak sedang duduk di beranda di temani segelas kopi.
“Kambing-kambing itu berulah lagi
tidak, Ari?” ucap lelaki tua itu pada cucunya.
“Tidak kek. Hari ini mereka jinak.”
Kedua lelaki berbeda usia itu pun
tertawa bersama.
“Apa itu yang kau bawa?” ucap lelaki
tua itu ketika melihat selembar kertas dalam genggaman cucunya.
“Sebuah surat kek. Ku temukan di
sungai ketika memberi minum kambing-kambing itu. Kakek mau baca?”
Lelaki tua itu mengangguk. Kemudian
ia mulai memperhatikan dengan seksama tulisan tangan sang penulis surat
tersebut. Dahinya mengernyit. Sepertinya ia tidak asing dengan tulisan tangan
itu. Ia pun mulai membacanya. Ketika ia selesai di paragraf akhir, seulas
senyum tersungging di bibirnya.
“Apakah mungkin ini kau, Arindaku?” ucap lelaki
tua itu dalam hati.
***
Komentar
Posting Komentar