[CERPEN] "Gubuk di Tengah Hujan" Dimuat di Koran Waspada Pada Minggu, 5 Februari 2017

                                                    
Koran Waspada Edisi Minggu 5 Februari 2017 Versi Cetak





 Gubuk di Tengah Hujan
 Cerpen : Feby Farayola


          Dia adalah lelaki pembawa hujan untuk kerontang yang bersarang di sukmaku. Sebenarnya hujan yang dibawanya bukan yang pertama. Dulu, pernah ada seorang lelaki yang datang dengan membawa hujan juga. Namun ia tidak tahu bagaimana caranya mengundang teduh. Sehingga aku tenggelam dalam luka.
          Adakah hal yang lebih jahat dari membalas segenap cinta dengan air mata? Ada! Penghiantan. Pada waktu itu kebahagiaan dalam hidupku seolah dilahap habis oleh rasa sakit yang setiap hari menghantamku. Jangankan kembali tegak beridiri, tertatih pun aku alpa daya. Tetapi aku percaya, waktu menyimpan sejuta misteri. Dari sekian banyak misteri yang disimpannya, aku menemukan penawar atas semua rasa sakit itu; dia.   
         Dia adalah seseorang yang datang dengan membawa hujan sekaligus teduh. Dia tahu bagaimana caranya merajut senyum di wajah dinginku. Dia tahu kapan harus membasuh amarahku dengan hujannya dan kapan harus meneduhkanku dari gigilnya rindu. Hingga aku lupa bagaimana rasanya sakit yang menderaku dulu.
      Bahunya adalah tempat bersandar yang nyaman ketika aku lelah dengan sandiwara nirwana. Meski begitu kami belum memiliki ikatan apapun, meski hanya sekedar jalinan kasih.
       Ketika senja mulai dilahap gelap, kami berjalan berdampingan menuju rumah masing-masing. Menghabiskan senja dengannya di sebuah bukit dekat tempat kami tinggal adalah hal yang sederhana. Tetapi bagiku tidak begitu. Bagaimana tidak? Setiap detik yang terlewat kami bumbui dengan canda dan tawa. Saat ini aku benar-benar yakin bahwa luka di masa lalu yang selama ini menghantuiku telah terkubur.
       “Boleh aku minta sesuatu?” tanyanya ketika kami telah tiba di depan pintu gerbang rumahku.
       “Boleh. Kamu mau apa?”
     “Besok, masakkan aku gulai ikan nila, ya? Pada jam makan siang tolong antarkan ke tempat kerjaku. Aku mau makan siang dengan masakanmu.”
       “Pasti, pasti,” ucapku sambil menyembunyikan wajahku yang memerah.
        Kata orang, kedewasaan tidak diukur dengan usia. Melainkan sikap dan cara berfikir. Aku sadar, aku memang belum dewasa. Kadang aku masih suka bersikap kekanakan. Namun bukan berarti aku masih anak-anak. Aku sudah bisa memahami jenis perasaan yang satu ini; anugerah terindah.
***
       “Laras, tunggu!”
       “Apalagi? Luka lama mana lagi yang akan kau gali?”
       “Dengarkan dulu penjelasanku, tolonglah.”
       Aku menghapus sisa gerimis yang turun di wajahku karena penglihatanku merekam langsung peristiwa itu. Sebuah peristiwa yang akan selalu kekal dalam ingatan.
      Hari ini pagi-pagi sekali aku bangun untuk memasak ikan nila gulai untuknya. Pada waktu istirahat jam kerjaku yang terbatas, ku sempatkan datang ke kantor tempat dirinya bekerja untuk mengantar ikan nilai gulai tersebut. Namun apa yang aku lihat tadi benar-benar membuatku merasa semuanya sia-sia.
       Hening yang menyesakkan mengepung kami. Tiada kata yang terucap. Ngilu mejalari seluruh tubuhku. Karena tak tahan dengan suasana seperti ini akhirnya aku membuka suara terlebih dahulu,         
       “Siapa perempuan yang berciuman denganmu tadi?”
        Tidak ada jawaban apapun yang aku terima. Hening yang menyesakkan semakin perkasa.
       “Indra! Kenapa kamu diam?” desakku. “Lihat mataku dan jawab siapa perempuan itu.”
       “Dia kekasihku.”
      Kalimat itu meluncur begitu saja dari mulutnya. Bagaikan cangkul yang membuat potongan-potongan luka lama itu menyembul tanpa malu ke permukaan diriku.
       “Lalu apa arti dari semua yang sudah kita lewati bagimu?”
       “Aku minta maaf, Laras. Aku minta maaf.” Tangan yang dulu selalu membantuku berdiri ketika aku terjatuh itu mencoba menarikku ke dalam dekapnya. Namun secepat mungkin aku menghindarinya. Aku yakin, sekarang dan seterusnya pelukan itu akan membuatku meraasa seperti tertimbun tumpukan salju. “Laras aku berjanji aku langsung menikahimu setelah aku putus dengannya!”
       Aku mendapat dorongan yang kuat untuk menampar pipinya sekeras mungkin. Untungnya akal sehatku masih bekerja sehingga dorongan yang kuat tadi berhasil ku kendalikan. Aku pun tahu kekerasan tidak menyelesaikan masalah.
       “Maksudmu aku hanya sebuah gubuk tempat kamu berteduh ketika kamu bosan bermain dengan hujan, dan kamu berjanji akan menjadikanku rumah tempat kamu pulang ketika hujan reda, sedangkan kita tidak tahu kapan hujan akan reda? Kamu fikir aku perempuan macam apa?” ucapku dengan seulas senyum getir. Ya tuhan, kali ini sakit yang ku rasakan berlipat-lipat lebih dahsyat.
       “Bukan, bukan begitu. Menurutmu apa salah kalau aku mencari rumah yang baru ketika rumah yang sedang aku tempati tidak nyaman?”
       “Oh begitu? Sekarang aku tanya, sudah berapa lama kalian menjalin hubungan itu?”
       Dengan ragu dia menjawab, “Sekitar satu tahun lebih.”
       “Satu tahun katamu? Itu yang kamu maksud dengan rumah yang tidak nyaman?”
       Kedua tanganku ku kepal sekencang-kencangnya. Aku khawatir kalau sampai aku lepas kendali. Bersamaan dengan itu hujan turun dengan deras.
     “Pulanglah, Ndra. Rumahmu bukan aku. Biarkan gubung usang itu menanti penghuninya di tengah derasnya hujan.”
       “Tapi aku mencintaimu, Laras.”
      Aku menatapnya sekilas, mempersembahkan sebuah senyum getir lalu berlalu begitu saja dari hadapannya. Membiarkan hujan memelukku. Ah, mungkin aku akan kembali tenggelam dalam luka.
***

Penulis adalah mahasiswi FKIP UMSU Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris dan bergiat di FOKUS UMSU


   

Komentar

Postingan populer dari blog ini

[CERPEN] Nostalgia Lebaran (Dimuat di Koran Waspada, Minggu 8 Juli 2018)

[CERPEN ANAK] Terima Kasih Guruku (Dimuat di Rubrik Taman Riang Koran Analisa, Minggu 27 November 2016)

[CERPEN] "Merah Putih di Atas Api" Dimuat di Koran Waspada Minggu, 13 Agustus 2017