[CERPEN] "Jantung Puisiku" Dimuat di Koran Medan Pos Pada Minggu, 18 Juni 2017



Koran Medan Pos Edisi Minggu, 18 Juni 2017 Versi Cetak






Jantung Puisiku
Cerpen : Feby Farayola

            Senja beranjak pulang. Namun aku masih di sini. Koridor lantai 4 gedung fakultas teknik. Jadwal kuliahku baru saja selesai. Itu sebabnya aku masih berada di sini. Aku mengurungkan niat untuk segera pulang. Menikmati langit senja di tempat ini adalah ladang inspirasi bagiku. Kadang, aku duduk pada sebuah bangku yang tersedia sambil menulis puisi. Namun kali ini aku hanya menikmati langit senja tanpa melakukan apapun.
            Dari kejauhan, ku dengar suara langkah kaki mendekat. Samar-samar sesosok lelaki tertangkap indra penglihatanku. Semakin lama rupanya semakin jelas. Ah, lelaki itu lagi ternyata. Lelaki yang belakangan ini selalu merecokiku hanya karena puisi.
            “Menunggu inspirasi datang?” ucapnya ketika ia telah berdiri di hadapanku.
            Aku mengangguk sambil tersenyum kecil.
            Ku lihat ia menghembuskan nafas lalu memperlihatkan sebuah kertas padaku. Itu adalah potongan koran yang berisi beberapa puisiku yang dimuat minggu lalu.
            “Saya sudah baca puisi kamu yang dimuat minggu kemarin,” ucapnya.
            “Lalu?”
            Lelaki berkulit sawo matang itu diam sejenak. Merapikan rambutnya yang agak gondrong lalu menjawab, “Menurut saya puisi kamu mati. Tidak bernyawa.”
            Sudah ku duga. Lelaki ini pasti ingin mengkritik puisi-puisiku lagi.
            “Kamu tahu? Puisi itu lebih dari rangkaian diksi yang membentuk kalimat-kalimat indah. Puisi adalah ungkapan perasaan.”
            “Lalu?” tanyaku dengan wajah datar. Hah, lagi-lagi ia merecokiku hanya karena puisi.
            “Diksi-diksi di puisi kamu memang indah. Namun saya yakin, pembaca tidak akan mampu memahami maknanya. Karena apa? Karena puisi kamu tidak memiliki nyawa. Setiap puisi itu memiliki jantung. Jantung itulah yang membuat puisi kamu terasa lebih hidup. Dan sampai detik ini, saya yakin kamu belum menemukan jantung dari puisi-puisi itu,” ucapnya panjang lebar tanpa ku tahu maknanya.
            “Sudah?” tanyaku masih dengan wajah datar.
            “Sudah.”
            Cepat-cepat aku melangkah pergi sebelum lelaki menyebalkan itu mengoceh lagi.
            ***
            “Namanya Danar. Danar Danapati. Mahasiswa teknik sipil semester 7,” ucap Ayas tanpa mengalihkan perhatiannya dari buku yang sedang ia baca.
            “Kamu tahu dari mana?” tanyaku.
            “Dia tetanggaku. Anaknya tertutup. Jarang berbaur. Makanya aku kaget waktu kamu cerita kalau dia sering ngobrol sama kamu. Apalagi yang kalian bahas puisi. Waktu SMA kami satu sekolah. Dia gak pernah tuh ikut lomba cipta puisi atau sekedar menyodorkan karyanya ke pengurus mading,” usai berkata begitu Ayas menutup buku yang sedang dibacanya. “Pulang yuk. Sebentar lagi kayaknya perpustakaan mau tutup.”
            Aku mengindahkan ajakan Ayas sambil terus berfikir, untuk apa lelaki yang bernama Danar itu perduli pada puisi-puisiku?
            Tidak banyak yang ku tahu tentangnya. Karena setiap kali berjumpa kami hanya mengobrol tentang puisi. Tiba-tiba saja aku ingin tahu lebih banyak tentangnya.
            ***
            Pada senja lainnya di tempat yang sama, aku kembali bertemu dengan lelaki itu. Kali ini penampilannya agak berantakan. Aroma nikotin tercium begitu kuat dari tubuhnya. Tanpa permisi ia duduk di sebelahku. Ia terbatuk-batuk. Segera aku menyodorkan botol minumku yang isinya tinggal setengah padanya.
            “Terima kasih,” ucapnya sambil mengembalikan botol minuman tersebut.
            “Kamu merokok?” tanyaku.
            Ia menoleh menatapku. Tatapannya tajam. Tetapi entah mengapa aku tidak merasa takut. Padahal di tempat ini hanya ada kami berdua. Bisa saja dia berbuat semaunya.
            “Baru kali ini kamu berbicara lebih dari satu kata sama saya.” Dia terbatuk-batuk lagi.
            “Jangan pakai bahasa yang terlalu formal begitu. Aku risih.”
            Entah apa yang lucu, tetapi ia terkekeh setelah mendengar ucapanku barusan. Tiba-tiba wajahnya berubah serius. “Jadilah penyair yang hebat, Saskia Andini. Saya yakin kamu pasti bisa. Oh iya, jangan lupa temukan jantung dari puisi-puisi itu ya. Ingat apa yang sudah pernah saya bilang ke kamu.” Ia menepuk bahuku lalu beranjak pergi.
            “Kenapa kamu perduli?”
            Ucapanku barusan membuat langkahnya terhenti. Ia berbalik, menatapku tajam, lalu berkata, “Katanya, mama kamu sudah meninggal ya? Dan semenjak papa kamu menikah lagi, kamu merasa tidak ada yang perduli sama kamu. Benar begitu?” Ia menjeda ucapannya sambil kembali menepuk-nepuk bahuku.”Saskia Andini, meskipun kamu berfikir begitu, kamu harus percaya, masih ada orang yang perduli sama kamu.” Ia bersiap melangkah pergi lagi.
            “Danar! Tunggu!”
            Ia kembali berbalik, “Ada apa lagi?”
            “Dari mana kamu tahu semua itu?” tanyaku.
            “Kan saya sudah bilang, masih ada orang yang perduli sama kamu. Sudah ya, saya harus pulang sekarang.”
            Kali ini lelaki itu tetap melanjutkan langkahnya meski aku memintanya untuk tetap di sini.
            ***
            Setelah senja pada hari itu, aku tidak lagi pernah melihat Danar. Saban hari aku menunggunya di koridor lantai 4 namun sosoknya tak kunjung muncul. Kemana dia? Mengapa tanpa ocehannya aku merasa puisi-puisiku semakin mati?
            “Jadi kamu belum denger kabarnya?” tanya Ayas dengan wajah kaget.
            Aku menggeleng.
            “Sas, Danar udah meninggal satu bulan yang lalu. Dia mengalami kecelakaan waktu magang. Jatuh dari lantai 4 sebuah gedung yang sedang dibangun.”
            Aku tidak mendengarkan lagi penjelasan Ayas. Tiba-tiba aku merasa kosong. Tidak hanya puisiku, aku merasa diriku juga mati usai mendengar kabar ini. Ah, mengapa baru sekarang ku sadari bahwa Danar adalah jantung puisiku? Bukankah selama ini aku selalu mendapat inspirasi dari ocehan-ocehannya? Setiap inci tubuhnya bagaikan diksi-diksi puisi yang indah. Bahkan aku tidak keberatan ketika menghabiskan senja bersamanya di koridor lantai 4 fakultas teknik. Padahal aku tidak begitu mengenalnya. Lantas setelah ini, apakah puisi-puisiku akan terus hidup tanpa jantungnya?
            ***
           
   

Komentar

Postingan populer dari blog ini

[CERPEN] Nostalgia Lebaran (Dimuat di Koran Waspada, Minggu 8 Juli 2018)

[CERPEN] "Merah Putih di Atas Api" Dimuat di Koran Waspada Minggu, 13 Agustus 2017

[CERPEN ANAK] Terima Kasih Guruku (Dimuat di Rubrik Taman Riang Koran Analisa, Minggu 27 November 2016)