[CERPEN] "Tawa Langit" Dimuat di Koran Waspada Pada Minggu, 9 April 2017
Koran Waspada Edisi Minggu 9 April 2017 Versi Digital
Tawa Langit
Cerpen : Feby Farayola
Belakangan ini, kampung itu dihebohkan dengan suara tawa yang berasal dari atas langit sana. Anehnya, suara tawa tersebut hanya muncul ketika adanya hal-hal istimewa yang terjadi pada para penduduk. Contohnya, ketika putra sulung pak lurah yang baru saja mendapatkan gelar sarjana teknik pulang kampung. Untuk merayakan hal tersebut, pak lurah mengadakan pesta selama 7 hari 7 malam. Tepat pada malam ketujuh, suara tawa tersebut terdengar. Seluruh penduduk yang mulanya larut dalam suasana pesta berubah menjadi ketakutan. Pasalnya, suara tawa tersebut terdengar begitu mengerikan dan menyakiti pendengaran.
Contoh lainnya ketika kembang desa kampung itu menikah dengan seorang pengusaha yang datang dari kota. Sama seperti perayaan kelulusan putra sulung pak lurah, pesta digelar selama 7 hari 7 malam. Selama 7 hari 7 malam, makanan lezat dihidangkan. Aneka hiburan seperti pegelaran wayang, tari-tarian, ludruk, dan lain sebagainya disajikan tiada henti. Sama seperti perayaan kelulusan putra sulung pak lurah, tepat pada hari ke 7 suara tawa yang mengerikan itu kembali terdengar.
Contoh lainnya datang dari uwak Badil, seorang petani yang memiliki ladang dengan luas ratusan hektar di kampung tersebut. Waktu itu ladang jagung uwak Badil sedang panen. Hasil panennya lumayan memuaskan. Beberapa truk hilir mudik ke ladang uwak Badil guna mengangkat jagung-jagung tersebut untuk dibawa ke ibu kota. Jika hasil panennya melimpah seperti saat ini, biasanya uwak Badil akan mengadakan pesta syukuran. Namun mengingat apa yang terjadi belakangan, kali ini pesta tersebut ditiadakan. Tetapi entah mengapa, suara tawa yang mengerikan itu tetap terdengar.
Warga menjadi cemas sekaligus takut. Sebenarnya apa yang terjadi? Mengapa kampung mereka diteror oleh suara tawa yang misterius itu? Apakah ini adalah bukti nyata bahwa akhir zaman telah dekat?
“Untuk memohon perlindungan kepada gusti Allah swt, kita akan menggelar pengajian selama 7 hari 7 malam,” ucap pak lurah di akhir rapat dengan warga kampung yang diadakan di balai desa.
“Bagaimana?”
“Saya setuju pak lurah!”
“Saya juga setuju!”
“Saya juga!”
Warga kampung bersorak dengan antusias.
Sesuai dengan yang telah disepakati, pengajian selama 7 hari 7 malam untuk memohon perlindungan itu pun digelar. Namun, suara tawa tersebut tak kunjung pergi. Sama seperti sebelumnya, tepat pada hari ketujuh, suara tawa itu kembali menyapa indra pengdengaran warga. Para warga tidak tahu lagi harus berbuat apa. Mereka pasrah. Jika suara tawa tersebut adalah pertanda buruk, mereka siap menghadapi kemungkinan-kemungkinan buruk yang mungkin akan terjadi.
***
Beberapa bulan belakangan warga kampung dapat bernafas lega. Sebab, suara tawa tersebut tak lagi terdengar. Namun berita-berita buruk mulai bermunculan satu persatu. Putra sulung pak lurah yang kini telah bekerja pada sebuah perusahaan bergengsi di ibu kota ketahuan melakukan penggelapan dana perusahaan. Lalu disusul dengan berita mengenai kembang desa kampung itu yang menjadi korban kekerasan rumah tangga. Kemudian tersiar pula kabar bahwa seluruh ladang milik uwak Badil mengalami kebakaran. Tidak hanya itu, berbagai hal-hal buruk lainnya mulai bermunculan satu persatu menimpa para warga.
Pada suatu malam, suara tawa tersebut kembali terdengar. Namun para warga mengacuhkannya. Mereka tidak perduli. Fikiran mereka tersita oleh nasib buruk yang melanda kampung tersebut.
Sebenarnya, putra sulung pak lurah mampu meraih gelar sarjana karena mengandalkan uang. Di kota sana, dirinya tidak serius dalam menuntut ilmu. Setiap hari ia hanya berfoya-foya. Sebenarnya pula, kembang desa kampung itu tidak menikah berdasarkan cinta. Melainkan desakan orang tuanya karena mempelai pria memiliki harta yang berlimpah. Lalu, selama ini uwak Badil tidak pernah menyedekahkan hasil panennya kepada fakir miskin. Padahal ia tidak pernah gagal panen walau sekalipun. Setiap habis panen, uwak Badil selalu menghabiskan sebagian penghasilannya di meja judi. Pernah ada seorang fakir yang datang ke rumahnya untuk meminta kedermawanannya. Namun, yang didapatkan fakir tersebut adalah hidangan berupa caci maki.
Terkadang manusia tidak sadar bahwa diri mereka begitu rendah. Mereka selalu beranggapan bahwa diri mereka tinggi layaknya langit hanya karena kenikmatan dunia yang berhasil didapatkan. Tetapi langit, langit tidak pernah menganggap dirinya tinggi meski sebenarnya dirinya tinggi.
***
Penulis adalah mahasiswi FKIP UMSU jurusan Pendidikan Bahasa Inggris dan anggota FOKUS UMSU
Komentar
Posting Komentar