[CERPEN] "Serpihan Sesal" Dimuat di Koran Waspada Pada Minggu, 18 Juni 2017


Koran Waspada Edisi Minggu, 18 Juni 2017 Versi Cetak





Serpihan Sesal
Cerpen : Feby Farayola

            Siang semakin matang. Aku menepi sejenak untuk berlindung dari matahari yang sinarnya semakin tajam menusuk kulitku. Abu-abu berterbangan dimana-mana. Aku menutup hidung dengan sebelah tangan sambil memandangi sekitar. Sama seperti hari-hari sebelumnya, suasana di terminal ini terbilang ramai. Tetapi, daganganku baru sedikit yang terjual. Sial!
            Tiba-tiba suara kegaduhan mengusikku. Ku palingkan pandanganku ke arah suara kegaduhan itu berasal. Terlihat olehku di sana sesosok pria berpakaian rapi sedang adu mulut dengan beberapa orang. Ah, pria itu lagi. Apa ia tak bosan membuat keributan di tempat ini?
            Ya, sudah berkali waktu pria itu terus membuat keributan di tempat ini. Waktu itu ia pernah ribut dengan seorang supir bus, kemudian dengan penjual tiket, lalu dengan seorang pedagang asongan, dan kali ini ia ribut dengan banyak orang. Entah apa alasan yang menyebabkan keributan itu terjadi. Aku tidak tahu dan tidak mau tahu. Bukan urusanku. Lagi pula apa untungnya untukku?
            Lebih baik sekarang aku lanjut menawarkan donat-donat ini pada orang-orang. Barangkali mereka mau membelinya.
            ***
            “Pergi kau sana! Jangan buat keributan di tempat ini!”
            “Dasar orang aneh!”
            “Mungkin dia sudah kehilangan kewarasannya. Biarkan sajalah. Menanggapinya hanya membuang-buang tenaga.”
            Umpatan demi umpatan menerjang pendengaranku. Bukan, umpatan-umpatan tersebut tidak ditujukan mereka padaku. Melainkan pada pria itu. Pria yang selalu menjadi pembuat masalah di tempat ini. Kali ini sebuah kursi tunggu yang terbuat dari kayu ditendangnya hingga kursi tersebut rusak. Hal tersebut memancing emosi orang-orang yang mencari nafkah di terminal ini. Lelaki itu dimaki habis-habisan. Syukurnya ia tidak babak belur.
            Pria itu berjalan dengan langkah gontai menuju kaki lima yang terletak di depan terminal ini. Karena penasaran, aku mengikutinya. Lama-lama aku ingin tahu, apa sebenarnya yang ia inginkan?
            “Pergilah. Aku tidak ingin membeli donat,” ucapnya ketika aku telah berdiri di sampingnya.
            “Saya tidak ingin menawarkan donat-donat ini pada anda, Pak.”
            “Lalu?” tanyanya tanpa menatapku. Ia menatap ujung sepatunya yang diselimuti debu.
            Aku duduk di sebelahnya, mengeluarkan botol minumanku, “Mungkin anda butuh minum?” ucapku sambil menyodorkan botol minuman tersebut.
            Ia meraih botol minuman tersebut lalu meneguk isinya hingga tinggal setengah, “Terima kasih,” ucapnya sambil mengembalikan botol minumanku.
            Hening sejenak sebelum aku bertanya, “Sebenarnya apa yang anda inginkan, Pak?”
            Ia menoleh menatapku dalam gerakan cepat, “Apa maksudmu anak muda?”
            “Apa yang bapak inginkan sehingga bapak selalu menimbulkan keributan di tempat ini?”
            Pria itu terdiam. Ia menatap langit dengan tatapan menerawang. “Aku ingin pulang ke kampung halamanku.”
            “Lalu, mengapa anda tidak pulang saja?” tanyaku.
            Ia kembali terdiam sebelum akhirnya menjawab, “Saya tidak akan pernah bisa pulang.”
            Aku menatapnya dengan kening berkerut. Tidak bisa pulang? Mengapa? Apa karena biaya?
            Seolah mampu membaca fikiranku, pria itu berkata, “Berapapun harga tiketnya akan saya beli asalkan saya bisa pulang.”
            Kami kembali bungkam. Sesaat kemudian, tanpa ku minta, pria itu mulai bercerita bahwa kampung halamannya sudah tidak ada. Sirna.
            Beberapa tahun lalu kampung itu dibom oleh orang yang tidak dikenal. Entah apa maksud dan tujuannya. Hingga saat ini kasus tersebut tidak terpecahkan hingga akhirnya terlupakan. Tiada penduduk yang selamat termasuk keluarga pria itu.
            Dirinya merantau ke kota ini untuk meraih kesuksesan. Ketika kesuksesan itu telah diraihnya, waktunya tersita dengan segala macam kesibukan sehingga ia sangat jarang pulang kampung. Padahal di kampung itu ada rindu yang harus dilunasi.
            “Dulu, setiap saya akan pulang kampung, saya selalu naik bus di terminal ini. Tetapi sekarang sepertinya bus yang menuju ke kampung itu sudah tidak ada,” ucap pria itu dengan suara lirih.
            Ah, ternyata pria ini belum bisa menerima kenyataan yang ada.
            “Kamu punya keluarga anak muda?” tanyanya.
            “Ya. Aku punya ayah, ibu, dan dua adik perempuan. Aku anak laki-laki satu-satunya di keluargaku,” jawabku.
            “Jaga mereka selagi kalian masih bersama. Gunakan waktu yang ada dengan sebaik-baiknya.” Pria itu menepuk bahuku lalu melangkah pergi dengan senyum miris di bibirnya.
            ***
                                                        

Komentar

Postingan populer dari blog ini

[CERPEN] Nostalgia Lebaran (Dimuat di Koran Waspada, Minggu 8 Juli 2018)

[CERPEN] "Merah Putih di Atas Api" Dimuat di Koran Waspada Minggu, 13 Agustus 2017

[CERPEN ANAK] Terima Kasih Guruku (Dimuat di Rubrik Taman Riang Koran Analisa, Minggu 27 November 2016)